Menu

Percik Kata Nieke

Kamis, 30 Januari 2014

Bukan Kisah Cinderella




Sengaja menutup pintu, biar tidak ada yang masuk.
Tiba-tiba ada yang mengetuk,
Bingung... membukakan pintu atau membiarkannya tetap tertutup...
Sementara, rumah ini masih berantakan
Apa mungkin, membiarkan tamu masuk sementara aku masih sibuk menata yang berantakan?

-mengutip puisi karya Rina Widiastuti-





Gadis kecil manapun selalu terpukau dengan kisah semacam "Cinderella". Dongeng rakyat yang setipe itu juga kerap dituturkan kakek saya, judulnya "Bawang Putih Bawang Merah". Gadis kecil manapun, ingin menjadi tuan puteri dan bertemu dengan sang pangeran penyelamatnya.

Tapi impian sebagai gadis kecil tuan puteri ini berubah ketika saya duduk di bangku sekolah menengah pertama dan membaca komik Jepang berjudul "Rose of Versailles". Saya tak lagi terpikat pada puteri-puteri cantik yang identik dengan lemah, terbelenggu, dan menunggu untuk diselamatkan. Saya jatuh cinta pada figur Oscar, puteri yang perkasa dalam komik itu. Dia puteri bangsawan, tapi jago main pedang, dan dia dipercaya memimpin pasukan. Buat saya, Oscar ini puteri yang super keren. Dia bisa tampil berani dan bertarung. Tapi dia juga bisa tampil anggun dengan gaunnya. Lupakan Cinderella yang menanti diselamatkan. Lupakan Puteri Tidur, yang tidur dan menunggu pangeran datang mencium dan membebaskannya dari kutukan.

Lalu, waktu saya menginjakkan kaki di sekolah menengah atas, Hollywood merilis "Ever After", kisah nyeleneh Cinderella yang diperankan Drew Barrymore. Iya, nyeleneh. Cinderella tak lagi muncul sebagai figur lemah, seperti semua stereotipe dongeng puteri-puteri pada masa itu. Cinderella dalam film ini pun tak diselamatkan sang pangeran. Sang puteri menyelamatkan dirinya sendiri. Sang pangeran datang terlambat. Saya justru menyukai film ini.

Kenapa?

Bukan karena saya antipati pada kaum laki-laki.
Bukan pula karena saya miss independent.

Coba hitung, berapa waktu yang perempuan sia-siakan, ketika mereka sebenarnya bisa menggunakan waktunya menata diri dan mewujudkan impian? Saya lebih mengkaitkannya pada kesempatan-kesempatan yang ada di depan mata para perempuan yang lewat begitu saja, ketika mereka sibuk menye-menye dan terjebak pity party.

Kini. Saya masih pada prinsip yang sama. Hanya saja, saya memperoleh pencerahan yang lebih mendalam.

Inilah sebabnya saya bicara soal film jadul berjudul "Ever After". Papa di Surga, beberapa pekan lalu tiba-tiba mengingatkan saya pada film itu. "Kau ingat kan kenapa kamu suka film itu?" tanyanya.

Iya.

"Dan apa yang kamu lakukan? Menjadi puteri perkasa, atau puteri yang lemah dan menanti skenario penyelamatan yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri?"

JLEEBB!

Dua tahun belakangan ini. Badai datang bertubi-tubi dalam kehidupan saya. Dimulai dari papa yang kecelakaan. Adik saya yang terkena tumor usus. Kemudian badai-badai lain menyusul. Dan oooh... ini hampir saja membuat saya terjebak dalam Cinderella syndrome. Saya sibuk mengadakan pesta sayang diri alias pity party: Why oh why God? Where are you God? Are You there, God? Do you exist God?


Kau ingat kan kisah sebuah rumah? Papa di surga bertanya.

Therefore whosoever heareth these sayings of mine, and doeth them, I will liken him unto a wise man, which built his house upon a rock:

And the rain descended, and the floods came, and the winds blew, and beat upon that house; and it fell not: for it was founded upon a rock.

And every one that heareth these sayings of mine, and doeth them not, shall be likened unto a foolish man, which built his house upon the sand:

And the rain descended, and the floods came, and the winds blew, and beat upon that house; and it fell: and great was the fall of it.



Pertama, kehidupan saya ibarat rumah yang terhempas lindu. Isinya berantakan. Hanya saya yang bisa menatanya kembali. Sayalah yang hafal letak masing-masing perabotnya. Sayalah yang tahu barang apa saja yang rusak, hilang, dan masih bisa digunakan.

Kedua, badai ini menyadarkan saya mengenai kondisi rumah saya. Iya. Rumah hati saya. Kekuatan fondasinya. Kekuatan dindingnya. Atapnya. Pintu. Jendela.

And the rain descended, and the floods came, and the winds blew, and beat upon that house; and it fell not: for it was founded upon a rock.
Saya bersyukur. Saya masih kokoh berdiri. Ya, saya mempertanyakan keberadaan Papa di Surga. Ya, saya marah kepadanya. Tapi, saya menemukan anugerahnya: I may stumble, but I will not fall, for my Father in Heaven upholds with his hand.

Di tengah badai ini, saya tahu, Papa di Surga sedang memperkuat fondasi rumah hati saya. Menyadarkan saya pada hal-hal dalam diri saya yang ibarat rumah--memerlukan renovasi.

Dan... Papa di Surga mengajar saya untuk menari di tengah badai.

Seperti tokoh sang puteri dalam "The SnowWhite and the Hunstman" (sekalipun saya enggak suka Kristen Stewart, tapi bolehlah karakter sang puteri di film ini). Ada ksatria. Ada pangeran. Toh, sang puteri bertarung menghadapi sang ratu jahat sendirian.  Dan dia menang.

Betul begitu kan, Pa? Shall we dance, Papa? *putar musik waltz "Shall We Dance" soundtrack film "The King and I"*



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hi... terima kasih sudah mampir dan membaca blog saya. Mohon berkomentar dengan sopan, tidak meninggalkan spam, tidak menggunakan LINK HIDUP di kolom komen. Sebelum berkomentar, mohon cek, apakah Anda sudah memiliki profil di akun Anda. Profil tanpa nama atau unknown profil tidak akan diterima berkomentar. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sebaiknya tidak gunakan akun anonim.

Salam.