Minggu, 30 Mei 2010
Situasi Sulit Itu....
Apa arti saat sulit buatmu?
Situasi yang sulit membuat kita belajar: siapa Tuhan bagi kita dan siapa kita bagi Tuhan.
Situasi yang sulit menjadi kelas praktikum untuk menghadapi hidup dengan iman dan melihat diri kita sesuai apa janjiNYA.
Situasi yang sulit membuat kita merendahkan hati, meletakkan kekuatan dan harapan di tanganNYA.
Keberhasilan menghadapi situasi yang sulit membuat kita menyadari: ini bukan cerita tentang kita. Ini cerita tentang DIA.
Situasi yang sulit itu seperti cermin yang membuat kita melihat siapa sesungguhnya diri kita, dan apa yang tersembunyi di dalam hati kita.
Nieke Indrietta
(on my way to Kuningan Place this morning, Sunday, May 30, 2010)
Sabtu, 29 Mei 2010
Cerita Tentang Payung Tua
Payung tua lusuh, berwarna biru. Apa dia tidak bisa beli yg baru? Sengat matahari menembus lubang. Apa pedagang ini tak punya uang? Kusut masai muka payung. Laki-laki itu tidak pasang muka murung. (Tentang pedagang minuman depan Starbucks Melawai Blok M, Jumat pagi, 28 Mei 2010)
Pagi-pagi aku sudah nyangkruk di depan Starbucks Melawai. Bukan, aku tidak berniat minum kopi di kedai itu. Pasalnya, Lindian mengirim pesan pendek padaku.
Tidak usah ke Kuningan. Kamu tunggu aja di Starbucks Melawai, nanti aku jemput di situ.
Arlojiku menunjukkan pukul 09.15. Perkiraanku, Lindi sampai sekitar 09.30. Kami akan mengunjungi sebuah panti asuhan hari ini. Aku tiba lebih awal. Masuk ke supermarket dengan brand nama Jepang, yang letaknya di samping kedai kopi. Matahari pagi hangat, tapi cukup membuatku meleleh. Tenggorokan kering. Aku membeli minuman untuk melepas dahaga. Belum lagi, naga-naga dalam perutku tiba-tiba bernyanyi. Aku menyempatkan diri mampir membeli sepotong croisant dan tiga potong donat di kedai kue, yang masih berada di satu gedung dengan kedai kopi dan supermarket.
Telepon selulerku berdering. Suara Lindi di ujung. "Nik, kita udah dekat. Tunggu yah."
Aku buru-buru membayar kueku. Melangkah ke teras. Menoleh kiri kanan, mencari mobil yang akan menjemputku. Lalu pandanganku terantuk pada laki-laki setengah baya di halaman parkir. Seorang pedagang kaki lima yang menjual minuman kemasan dan botol. Ia baru saja membuka warungnya. Mengangkat kotak penyimpan minuman. Membuka payung lusuh yang sudah compang-camping.
Aku tercekat. Lama aku menatapnya.
Payung itu, sungguh, sudah sangat tidak layak dipakai. Robek pada bagian tengah, lantas, apalagi fungsinya? Sudah tak dapat lagi digunakan untuk melindungi dari sengatan matahari dan deru hujan. Selayaknya payung itu dibuang. Warnanya pun sudah tak jelas lagi.
Kenapa laki-laki itu tetap memakai payung rombeng itu? pikirku.
Telepon selulerku kembali berdering. Masih Lindi yang berbicara. "Nik, kita salah ambil jalan. Kita jadi muter dulu."
Aku melirik arloji. Tak terasa waktu sudah berlari hingga pukul 10. Matahari sudah tak lagi menyapa hangat. Sinarnya nyolot malah. Bulir-bulir keringat menetes di dahi. Aku memutuskan menunggu di dalam. Menikmati sejuknya pendingin ruangan.
Tapi pikiranku masih tertuju pada pemilik payung lusuh itu. Kenapa bapak itu tetap memakainya? Kenapa dia tak menggantinya dengan yang baru? Harga payung toh tak terlalu mahal. Apakah payung itu pemberian seseorang? Lihat, bahkan payung itu tak bisa melindunginya dari sinar sang surya. Dan sekian kenapa bermain-main dalam benakku.
Ingin kuhampiri bapak itu dan bertanya tentang payungnya. Mungkin aku bisa sambil membeli sebotol minuman teh. Terus aku akan menanyakan alasannya mempertahankan payung rombeng itu. Baru saja aku hendak melangkah, telepon selulerku kembali berdering. Lindi. Dan mobil sedan itu sudah masuk ke parkir. Jendela terbuka, penumpangnya melambaikan tangan padaku.
Aku berlari masuk mobil. Selintas, mencuri pandang pada payung lusuh itu. Sampai menghilang dari pandangan mata. Masih meninggalkan pertanyaan dalam benakku.
Pak, kenapa tak kau ganti payungmu?
Jakarta, 28 Mei 2010
Nieke Indrietta
Selasa, 25 Mei 2010
Pena
"Apa yang saya lakukan tidak menentukan siapa saya
akan tetapi siapa saya menentukan apa yang saya lakukan.
Kamis, 20 Mei 2010
Hujan: Sebuah Romansa
Hujan itu tetesan kerinduan langit yang rindu mencumbu daratan.
Kerinduannya tak bertepi kali ini.
Tiap butir hujan mengandung kata: aku rindu padamu.
Entah berapa butir yang terserap daratan hari ini.
Mungkin langit mengirim sejuta surat cinta
yang isinya berisi sejuta kata "aku rindu padamu."
Mata langit dan daratan saling beradu.
Tak bisa berpeluk, tak bisa menggenggam.
Terpisahkan bentangan cakrawala.
Kata Daratan," Aku tak bisa membalas sejuta pesan kerinduanmu.
Aku dikutuk tak punya tangan untuk menyentuh pipimu, Langit."
"Tak apa," kata Langit.
Aku cukup puas mengecupmu jutaan kali.
Tumbuhkan saja benih-benih bunga yang ada di perutmu.
Bunga-bunga yang lahir dari perutmu itu cukup untuk membuatku tersenyum.
Memandangi buah cinta kita sepanjang hari.
Dan jika kita cukup beruntung,
bagian dari diriku akan menjatuhkan diri dalam pelukmu dengan pelangi.
***
Nieke Indrietta
Sebuah pojok restoran di Radio Dalam
13 Mei 2010