Rabu, 22 Januari 2014
The Truth About Heart
Lagi-lagi saya menampung curcol. Kali ini dari kedua pihak. Yang baru putus.
Pertama, si perempuan datang menangis. Dia membawa serpihan hatinya yang sudah berkeping-keping ke hadapan saya. Diputusin tanpa alasan. Owh.
Kedua, si laki-laki yang datang bersama kawan prianya. Dan tanpa perlu saya tanya-tanya apa yang terjadi, mereka sudah membeberkannya di hadapan saya. Sebut saja, si laki-laki A dan kawan prianya B. Dan si perempuan C. Mendengar cerita mereka saja saya sudah emosi. Ditambah saya sedang menstruasi, yang berarti kadar sensifitasnya bisa berkali-kali lipat. Kalau enggak saya terlatih, ehem, mengendalikan emosi. Mungkin sudah saya layangkan bogem mentah kepada si A. Daripada hasil belajar bela diri selama SMP sia-sia, gitu.
B: Elu kenapa mutusin C? Dia tadi nangis-nangis gara-gara elu.
A: Emangnya dia tadi ngomong apa aja?
B: Ya enggak sih. Elu apain dia?
A: Enggak, enggak gua apa-apain.
B: Jangan-jangan elu minta sesuatu ke dia, terus dia enggak mau kasih, dan elu putusin ya?
A: Enggak, sumpah gua enggak apa-apain dia. Dianya aja yang aneh.
B: Terus, kenapa elu putusin?
Dan inilah jawaban si laki-laki yang bikin saya pengen cincang-cincang dia sampai kecil-kecil. Doh. Horor yah.
A: Gua bosen. Rasa penasaran gua ke dia udah ilang.
......
Si B bengong. Saya? Saya sudah melayangkan jurus tendangan tanpa bayangan hasil latihan pada Pak Massa Heru, guru pencak silat waktu SMP. Hyyaaattt... Si A melayang dan tubuhnya terhantam ke dinding. Brugghhhh! Lalu melorot ke lantai dengan tak berdaya. Belum puas, saya hampiri dan...
"Jadi elu macarin dia cuman karena penasaran?"
Sial. Kalimat si B membuat khayalan saya porak-poranda. Padahal saya begitu menikmati mem-bully si A hingga babak belur. Saya tak tahan mendengarkan pembicaraan hingga akhir. Saya meninggalkan ruangan sebelum saya berimajinasi sejahat tadi. Atau mengeluarkan kata-kata yang tidak baik.
Saat itulah Papa di surga tiba-tiba muncul di samping saya. Hei, kenapa hatimu.
"Jengkel, Papa."
Mari kita duduk dan mengobrol.
Saya menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Membuang emosi yang meletup-letup dalam dada.
"Kau tahu, Nak." Nah, jika Papa di surga ini sudah berkata 'Nak' dan bukan 'Puteriku', itu artinya Papa akan mengeluarkan wejangan-wejangan yang panjang dan dalam. Ohya, saya memang biasa ngobrol-ngobrol begini sama Papa di surga. Saya punya dua Papa. Papa di bumi dan Papa di surga. Kenapa bisa begitu, err... ceritanya panjang. Kapan-kapanlah saya ceritakan. Sekarang saya mau cerita hasil ngobrol dengan Papa di surga. Lanjut, ya, lanjut, yah...
"Hati itu rapuh, Nak. Tak semua orang menyadari itu. Itu sebabnya sengaja dan tanpa sengaja, orang bermain-main dengan hati. Hati-hati dengan hati."
"Hati-hati dengan hati," saya menggumam mengulangi kalimat terakhirnya. Dan karena tak ada kertas dan pena, saya mengeluarkan Blackberry, membuka Twitter, dan menuliskan seluruh pesan Papa di surga di jejaring sosial itu.
"Kau tahu, Nak. Hati itu sebuah ruang. Dan kamu yang semestinya memegang kuncinya, atas segala sesuatu yang mengetuk. Apapun itu. Dan karena kamu yang seharusnya memegang kuncinya, maka tidak ada itu istilah hati yang tercuri. Tidak itu maling hati. Jika sampai hatimu tercuri, itu artinya kamu membiarkan pintu atau jendela terbuka."
Semua kalimat Papa di surga saya rekam dalam hati. "Tulislah, supaya orang tahu, apa itu hati, dan hati-hati dengan hati."
Dan inilah yang saya tulis, buat kalian, yang membaca blog ini. Iya, saya mau sharing hasil ngobrol hati ke hati saya dengan dengan Papa yang di surga ini. Boleh, kan, boleh kan...
Takut itu melumpuhkan. Apa yang dilumpuhkan? Hati yang menjadi lumpuh, Nak. Papa, kalau takut melumpuhkan, apakah takut terluka juga membuat lumpuh, Papa?
Iya. Takut terluka itu membuat orang melukai orang lain terlebih dulu. Fear to love, takut mencintai pun adalah ketakutan yang melumpuhkan. That's why, love is not blind. Love is giving your trust to someone, to take care of your heart. So that person have to be a credible person.
Jadi, Nak, kalau mau dibilang, singkatnya: pakai otak. Paham? Porselen pecah berkeping masih bisa beli baru. Banyak di toko. Kalau hati? Memangnya ada stok di toko?
Kabar baiknya, Nak, seburuk-buruknya kenangan, kamu masih bisa menggantinya dengan mengingat hal-hal yang baik. Seperti video. Delete, and save the new good things. Do it everyday. That's why you need to renew your mind everyday.
Mengingat itu persis proses membuat film. Setelah syuting, edit, buang yang baru, save yang bagus, lalu satukan. Render. Gimana dengan orang yang terlanjur mengingat kenangan buruk?
Saatnya menghapus. Memang enggak seperti komputer yang bisa langsung control alt del begitu. Enggak instan. Setidaknya, bisa mengingat adalah anugerah. Lebih baik ketimbang bangun tidur tidak bisa mengingat apapun bahkan jati diri. Kau ingat kan film yang baru kau tonton itu? Memento? (Nah kan, Papa di surga ini memang suka bicara dan memberi pencerahan lewat semua yang saya tonton. Bahkan kadang bisa loh lewat film kartun. Serius.)
Barangkali karena masalah hati yang rapuh yang terhubung dengan ingatan dan kenangan inilah, maka seorang raja yang bijak pun menuliskannya dalam Proverbs: Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan. Itu benar. Kehidupanmu.
Jaga hatimu. Pegang baik-baik kuncinya, Nak. Jangan sampai maling masuk. A gentleman akan mengetuk dan meminta dengan sopan. Paham? Jangan main-main dengan hati. Jangan juga main-main dengan tukang main-main. Atau yang masih suka main-main. Paham?
Proverbs yang sama itu, Nak, dalam terjemahan bahasa Indonesia sehari-hari seperti ini: Jagalah hatimu baik-baik, sebab hatimu menentukan jalan hidupmu.
Keep in your heart with all dilligence, for out of it spring the issues of life.
Above all else, guard your heart, for everything you do flows from it.
Keep vigilant watch over your heart; that's where life starts.
Itu kata-kata bijak seorang raja yang dikenal paling bijak sedunia, Nak. Sebelum dia tidak ada yang seperti itu. Dan sesudah dia pun, tak ada yang sebijaksana itu. The King of Solomon.
Dan saya teringat pada si A, B, dan C. Seandainya mereka mengerti, memahami tentang hati. Seandainya mereka tak bermain-main. Seandainya mereka berhati-hati dengan hati. Itu sebabnya, saya menuliskannya di blog ini. Saya hanya mau berbagi, tentang hati. :)
***
Labels:
insight,
inspiration,
sekadar catatan
A former journalist who loves traveling, writing, eating, watching movies, and sharing.
Menulis cerita pendek sejak di sekolah dasar. Saat SMA hingga masa kuliah menjadi penulis cerpen di Anita Cemerlang, Ceria Remaja, Deteksi Jawa Pos.
Kemudian bekerja sebagai wartawan di media massa nasional (online, koran, dan majalah) di Jakarta.
Kini menjadi penulis lepas dan belajar soal UMKM.
Beberapa kali menang lomba menulis:
-Lomba menulis cerpen antar-siswa SMA se-Indonesia yang diselenggarakan Warta Universitas Surabaya
-Lomba menulis cerpen Deteksi Jawa Pos
-Pemenang Lomba Menulis Blog Ini Kota Cerdasku, Gerakan Menuju 100 Smart City 2018
-Juara II Lomba Blog Ajang Kreativitas Milenial yang diadakan oleh Balai Besar POM (Pengawasan Obat dan Makanan) Surabaya, pada 2019
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hi... terima kasih sudah mampir dan membaca blog saya. Mohon berkomentar dengan sopan, tidak meninggalkan spam, tidak menggunakan LINK HIDUP di kolom komen. Sebelum berkomentar, mohon cek, apakah Anda sudah memiliki profil di akun Anda. Profil tanpa nama atau unknown profil tidak akan diterima berkomentar. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sebaiknya tidak gunakan akun anonim.
Salam.