Menu

Percik Kata Nieke

Senin, 18 Desember 2023

Pengalaman Buruk Saat Promo Buy One Get One, Jangan Terjadi di Kamu

Niat hati belanja roti buy one get one. Saat dimakan rumah, ternyata rotinya sudah jamuran. Lho, kok bisa?


Saya memutuskan curhat di blog pengalaman beli roti promo buy one get one yang ternyata ada yang kadaluwarsa. Semoga teman pembaca juga berhati-hati kala membeli barang.

Ceritanya saat itu saya sedang jalan-jalan di sebuah mal di Surabaya. Sebenarnya sudah mau pulang. Lalu saya melewati sebuah lantai yang ada stan roti dan bakery. Stan itu bersebelahan dengan stan minuman kekinian, sepertinya satu pemilik karena menyatu dengan bagian bakery.

Ternyata tiap pukul setengah sembilan malam, menjelang mal akan tutup, stan roti itu memang selalu mengadakan promo buy one get one. Tak heran kalau antrian mengular. 

Saya penasaran. Beberapa kali pernah beli roti itu, tapi belum pernah mencoba saat ada promo buy one get one menjelang mal tutup. Jadilah saya masuk dalam antrian mencari roti, terutama roti yang pernah saya beli dan menurut saya enak. Sayangnya, roti yang saya cari sudah habis. 

Saya mencari-cari roti lain yang kelihatannya menarik. Kesalahan saya adalah larut dalam euforia. Dalam situasi promo buy one get one, orang-orang seperti bersaing siapa cepat dia dapat. Cepat-cepatan dapat roti. Lalu mengantri dan bayar.

Saya seperti larut dalam 'kepanikan', wah nanti tidak kebagian roti. Jadinya asal ambil roti yang kelihatan enak dan worth it. Saya ambil roti satu lagi untuk gandengan promonya. 

Ohya dalam sistem promo buy one get one ini, nanti roti yang dibayar konsumen adalah harga yang termahal. Gratisnya adalah yang harganya leboh rendah. Contoh, saya ambil roti Rp 35 ribu dan Rp 25 ribu, maka saya hanya bayar Rp 35 ribu.

Saat itu saya juga mengambil minuman kekinian yang ditaruh di meja promo. Lalu mengambil satu minuman lagi agar mendapat promo buy one get one. Minuman-minuman ini sudah jadi dan dipajang di sebuah meja.

Sempat mengantri sekitar 10 menit. Begitu selesai membayar di kasir, rasanya lega dan senang. Saya berencana makan dan minum sesampainya di rumah.

Cuaca Surabaya memang sangat panas meskipun sudah memasuki musim hujan. Bahasa Jawanya sumuk, atau dalam bahasa Indonesia gerah. Begitu menghempaskan tubuh di sofa, saya menyalakan televisi ke saluran drama Korea dari televisi berlangganan. Saya meraih sebuah gelas berisi minuman kekinian hasil berburu promo buy one get one.

Dahi saya otomatis mengernyit begitu merasakan sedotan pertama. Kok minuman ini rasanya aneh ya. Agak kecut. Saya membau minuman itu. Kok... seperti ada bau basi. Akhirnya saya membuka tutup kemasan dan memeriksa cairan minuman itu. Aroma minuman basi menguar di udara. Astaga!

Kok bisa ya, minuman basi dijual?
 
Kemungkinan, faktor yang menyebabkan minuman ini cepat basi adalah kandungan susu murninya. Apalagi kalau minuman jadi ini tidak diletakkan dalam pendingin khusus. Saya sempat memotret minuman itu dengan rencana mengirim ke media sosial pengelola kafe secara pribadi.

Saya mencoba minuman satunya. Untungnya, minuman yang ini tidak bermasalah. Masih layak konsumsi. 

Penasaran, saya memeriksa roti-roti yang telah saya beli. Jangan-jangan ada yang bermasalah. Saya mencicip roti isi keju. Memakannya perlahan dengan merobek bagian ujungnya terlebih dulu. Saya menghela napas lega. Aman.

Giliran roti kedua. Saya mencubit bagian ujung dan mengunyahnya. Hmm, rasanya kok aneh. Seperti roti yang sudah jamuran. Masalahnya, roti ini berwarna gelap. Jadi tidak kelihatan apakah benar berjamur atau tidak. 

Jujur saja, saya merasa kesal. Apakah ini unsur kelalaian atau kesengajaan? Entahlah. Saya kembali memotret roti itu juga sebagai bahan komplain untuk dikirimkan dalam bentuk pesan pribadi ke kafe dan bakery bersangkutan.

Selama 30 menit, saya berusaha mengenyahkan kekesalan dan emosi akibat makanan dan minuman kadaluwarsa. Saya mengalihkan emosi dengan menonton drakor di televisi. Walau pikiran saya mengembara. 

Saya kembali memeriksa kemasan roti. Ternyata memang tak mencantumkan tanggal kadaluwarsa. Padahal biasanya roti kemasan merek lain selalu ada tanggal tenggat layak konsumsinya. Saya juga memeriksa kemasan minuman kekinian. Dan ternyata ada stiker kecil--hampir tak terlihat, yang mencantumkan tanggal minuman itu dibuat adalah sehari sebelumnya. 

Duh. Duh!!!


Pelajaran buat saya dan agar tak terjadi pada teman pembaca

Bagaimanapun produk kadaluwarsa tak layak dijual ke konsumen. Sebenarnya kesalahan di penjual atau pengelola kafe/bakery. Namun, ada hal-hal yang bisa dilakukan di pihak konsumen untuk mencegah mengalami hal buruk seperti saya.

1. Kalau ada promo buy one get one, jangan larut dalam euforia. Tetap waspada sebagai konsumen dengan memeriksa kandungan makanan dan minuman yang dibeli. Cek pula tanggal kadaluwarsanya. Apabila produk tidak mencantumkan label tanggal kadaluwarsa, tanyakan dan pastikan pada penjual. 

2. Cek secara fisik produk yang hendak dibeli. Kadang karena promo dan antrian membludak, orang cenderung terbawa suasana ingin cepat dan terburu-buru. Tetap tenang, sehingga akal sehat bisa bekerja. Cek mulai dari kemasan hingga fisik makanan dan minuman.

3. Kalau sebuah toko rutin bikin promo buy one get one, bisa survei dengan datang 30 menit sebelumnya ke lokasi. Cek roti yang ingin dibeli. Lalu tunggu hingga tiba waktu promo, lalu ke kasir. Dengan cara ini, kita juga tak perlu berebut barang dengan pengunjung lain. 

Demikian pengalaman buruk saya saat berbelanja promo buy one get one. Apakah teman pembaca pernah mengalami hal serupa?

Salam,
Kata Nieke





Sabtu, 09 Desember 2023

Kenapa Pengunjung Tak Boleh Bawa Makanan dan Minuman Luar ke Dalam Resto

Pernah dilarang bawa makanan dari luar resto? Ternyata ini alasannya.



Drama Queen di Sebuah Resto

Lagi asyik-asyiknya makan di sebuah restoran dalam mal, tiba-tiba terjadi keributan kecil. Sejumlah pengunjung marah-marah dan menyindir pegawai resto yang berdiri persis di depan pintu masuk. Saya tahu kejadian ini karena duduk di dekat pintu masuk.

Saat itu saya sedang menikmati ramen daging sapi dengan kuah yang kaldunya gurih. Sesuai namanya, mie keriting dengan tekstur agak bergelombang, tebal, kenyal sekaligus empuk, yang tenggelam dalam kuah kaldu. Berpadu dengan irisan daging sapi dengan panjang sekitar 2 cm yang manis bercampur gurihnya kaldu. Yummy yummy.

Saya sedang mempraktikkan mindful eating atau makan dengan kesadaran sepenuhnya. Bahkan ponsel saya letakkan dalam tas agar tidak terdistraksi. 

"Maaf, Bu, Kak, tidak bisa membawa masuk makanan dan minuman dari luar," saya mendengar suara pegawai resto perempuan berbicara dengan sopan.

"Masa tidak bisa, saya pernah di ***** Plasa masuk kok bisa," sahut pengunjung perempuan dengan nada jengkel dan ngeyel. 

Saya melirik ke arah pintu masuk. Terlihat sekitar tiga-empat orang pengunjung. Masing-masing memang membawa makanan dan minuman dari luar. Mulai dari jajan ayam nugget berbumbu, kentang goreng, hingga minuman kekinian seperti cincau dan boba.

Mereka rupanya tidak terima, ketika diberitahu tidak bisa membawa makanan dan minuman dari luar. Sebenarnya di sebelah karyawan resto yang bertugas di depan pintu itu, terdapat sebuah meja kecil. Terlihat beberapa gelas minuman pengunjung resto yang diletakkan di sana, sementara pemiliknya sedang duduk di meja resto menikmati hidangan. Sepertinya mereka enggan meniru pengunjung lain dengan meletakkan jajanan dari luar di meja itu. Maka, mereka meneruskan omelan dengan nada kencang dan menyindir-nyindir. 



Saya teringat masa lalu. Beberapa tahun lalu, saya pernah mengalami hal serupa di sebuah mal lain di pusat kota. Terlanjur beli minuman kemasan, lalu masuk ke sebuah resto masakan Indonesia. Salah seorang karyawan memberitahukan hal serupa kepada saya. Saya lalu menyimpan minuman itu dalam kantong, lalu berujar ke karyawannya.

"Saya memesan minuman dari resto ya, yang saya bawa, saya simpan," kata saya.

Sejak saat itu saya sebenarnya penasaran kenapa resto tidak membolehkan pengunjung membawa makanan dan minuman dari luar. Apakah karena resto tidak mau rugi ya? Ya masuk akal sih. 

Saya juga pernah bertanya pada teman saya yang punya usaha resto. Kalau pengunjung singgah berjam-jam, membawa 'bekal' sendiri, memesan sedikit atau bahkan tidak memesan bukan hanya soal rugi, tapi juga etika. Lagian, kalau bawa makanan sendiri, kenapa tidak memilih makan di food court atau pujasera saja ya.

Apa iya, hanya soal etika? 

*

Kalau Bawa Makanan, Izin Dulu

Saat masih tinggal di Jakarta, saya dan teman-teman pernah booking atau memesan meja di sebuah resto. Ceritanya, kami patungan hendak bikin surprise party atau pesta kejutan sederhana untuk seorang teman yang ulang tahun. Sirkel pertemanan saya punya kebiasaan unik--justru menraktir teman yang ultah, bukan minta ditraktir.

Nah, pesta ulang tahun biasanya kan menyajikan kue tart. Teman saya yang bertugas menyiapkan kue tart, tetiba melapor. 

"Tadi saya nanya ke pihak resto, apakah dibolehkan bawa tart dari luar. Ternyata tidak bisa, gaes," katanya.

"Wah, apa ganti venue (tempat) saja?" sahut teman yang lain.

"Restonya punya atau produksi kue tart, nggak? Kalau iya, tartnya beli sekalian aja di restonya," usul yang lain.

Akhirnya kami memutuskan tetap di tempat yang sama, tapi membeli tart dari resto tersebut. Sebenarnya tidak semua resto menolak. Pada lain kesempatan, kami mencoba resto yang berbeda. Saat kami menanyakan, apakah boleh bawa kue tart ternyata pihak resto membolehkan. Apalagi resto tidak menjual tart.


Lho, kenapa resto yang ini bisa ya? Ternyata ada syaratnya. Kue tart yang dibawa sudah berlabel halal. Pihak resto juga membantu dengan menyediakan piring-piring kecil untuk makan kue tart. Ternyata itu kata kuncinya: label halal.

Kalau pengunjung bertanya atau minta izin terlebih dulu, terhindar dari kejadian tidak mengenakkan. Daripada merasa tersinggung atau dipermalukan, walau ketika diberitahu secara baik-baik. 

Dalam beberapa hal biasanya resto juga membuat pengecualian. Misalnya ketika membawa air minum khusus untuk membuat susu bayi dan anak kecil. 

*

Kewajiban Pemilik Sertifikasi Halal 

Rupanya restoran yang sudah mengantongi sertifikat halal memiliki kewajiban melarang pengunjung membawa makanan dan minuman dari luar. Sertifikat halal menjadi jaminan bahwa makanan yang dijual halal. Demikian pula dengan peralatan dan proses masaknya. Seluruh bahan baku yang digunakan pun harus mempunyai label halal.

Jadi wajarlah, jika sebuah resto memiliki kebijakan tidak membolehkan pengunjung membawa makanan dan minuman dari luar. Tentunya untuk mencegah agar tidak ada makanan non-halal yang dibawa pengunjung dari luar. 

Masih ingat kan, cerita seorang influencer terkenal yang membawa krupuk mengandung babi ke dalam sebuah restoran yang telah berlabel halal. Ia menayangkan momen ia makan krupuk non-halal dicampur makanan halal di resto tersebut di sebuah media sosial. Hebohlah netizen. 

Tak lama, menanggapi viralnya unggahan influencer tersebut, pihak resto merespon dengan menayangkan adegan penghancuran mangkok dan peralatan makanan di media sosial. Penghancuran peralatan makanan tersebut untuk mencegah agar bekas alat makan yang telah digunakan sebagai wadah makanan non-halal, tidak digunakan pengunjung lain. 

Satu orang influencer mengakibatkan penghancuran seluruh alat makan di resto tersebut. Pihak resto kemudian menyatakan akan menggunakan peralatan baru. Artinya, mereka mengeluarkan biaya untuk membeli perabotan baru. Hmm, bayangkan berapa biaya kerugiannya. Belum masalah kredibilitas.



Beruntungnya, si influencer merasa bersalah. Ia juga menyatakan permohonan maaf disertai kesediaan untuk membayar kerugian resto tersebut. Si influencer menunjukkan itikadnya bertanggung jawab. Tidak ada lanjutan tindakan hukum atas insiden ini. 

*

Bagaimana dengan Resto Non-Halal

Resto atau tempat yang menyediakan makanan non-halal pun punya aturan. Pengunjung juga tidak bisa sembarangan membawa makanan dan minuman dari luar. Biasanya lantaran mereka hendak menjaga kualitas makanan dan minuman yang disediakan.

Selain itu, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Semisalnya saja tetiba ada pengunjung keracunan makanan, yang ternyata akibat kandungan makanan yang dibawanya dari luar. Hal-hal seperti inilah yang dijaga oleh pihak atau pengelola usaha makanan dan minuman.

*

Kesimpulan

Pernah dengar slogan 'pembeli adalah raja'? Slogan itu tentu tidak bisa diterapkan mentah-mentah dalam hal ini. Seandainya pun pembeli seorang raja, raja biasanya adalah pemimpin yang dituntut berwibawa dan bijaksana. Bijaksana dalam mematuhi aturan suatu tempat dan tidak bersikap seenak jidat. 

Bagaimana dengan teman pembaca? Pernah mengalami hal serupa? 


Salam hangat,

Kata Nieke