Cerita rakyat atau folklore memang menjadi cara menyampaikan pengetahuan secara turun temurun.
Cerita Rakyat dan Bahasa Daerah
Berapa banyak kalangan muda generasi sekarang yang masih menguasai bahasa daerahnya? Kebanyakan anak muda sudah tidak menguasai bahasa daerah sesuai sukunya atau bahasa lokal kediamannya.
Pada beberapa wilayah di Indonesia yang masih mengakar kuat pada kearifan lokal, masih ditemukan anak-anak hingga dewasa menggunakan percakapan dalam bahasa lokal. Satu di antaranya misalnya Yogyakarta yang masih kental dengan budaya Jawanya.
Dalam penggunaan bahasa daerah itu kerap kali saya menemukan ada lagu-lagu dalam bahasa Jawa yang sebenarnya mengisahkan cerita rakyat atau kisah wayang. Lagu Anoman Obong, misalnya. Ia bercerita tentang Dewi Sinta Ramayana. Ada pesan dan kearifan lokal yang hendak disampaikan melalui lagu tersebut, yakni tokoh perempuan, kesetiaan, kekuatan, dan kebenaran.
Cerita rakyat atau folklore memang menjadi cara menyampaikan pengetahuan secara turun temurun. Kisah itu mungkin seperti tidak memiliki landasan informasi yang logis atau cenderung seperti hikayat. Lantaran pada masa cerita rakyat itu diciptakan, belum dikenal ilmu pengetahuan seperti era sekarang. Namun jika digali lebih dalam, banyak makna filosofi kehidupan.
Tak sedikit dari kisah rakyat itu mengajarkan bagaimana manusia hidup selaras dengan alam. Cerita-cerita dalam budaya Jawa banyak yang mengandung makna idealnya manusia menjaga lingkungan dan mencegah bencana alam.
Dari kisah rakyat atau folklore tersebut, ada beberapa filosofi yang menyangkut bangunan. Misalnya pendopo dengan arsitektur Jawa yang menyatu dengan harmoni alam dan ventilasi udara. Ini cukup relevan dengan tantangan terkait isu lingkungan yang dihadapi masyarakat era modern, seperti perubahan iklim, cuaca ekstrem, krisis pangan.
Artefak pada benda-benda bersejarah menceritakan bagaimana pemimpin pada masa kerajaan Jawa juga menggunakan kearifan lokal sebagai cara menjaga mencegah bencana alam dan mitigasi bencana. Seperti temuan Ekspedisi JawaDwipa pada komplek Candi Sawentar di Jawa Timur. Ekspedisi JawaDipa adalah program yang didukung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Yayasan Skala Indonesia.
Candi Sawentar yang terletak di Desa Kanigoro, Jawa Timur merupakan kompleks bangunan pada zaman pemerintahan ratu Suhita dari kerajaan Majapahit. Candi Sawentar I ditemukan sekitar 1915 oleh arkeolog pada masa kolonial Belanda. Sementara Candi Sawentar II ditemukan arkeolog Indonesia pada 1999.
Ada perdebatan di kalangan para ahli sejarah dan arkeolog menyoal usia candi Sawentar I dan II. Diperkirakan, candi ini eksis sekitar 1357-1358 atau 1435-1436. Namun Baskoro Daru Tjahjono, seorang peneliti, dalam tulisannya yang berjudul “Paregreg Dalam Sebuah Monumen”, mengungkap bahwa Ratu Suhita memimpin kerajaan Majapahit dari tahun 1429-1447 M (Tjahyono, 1999). Ratu Suhita menjadi pemimpin Majapahit setelah Wikramawardhana ayahnya memegang tahta.
Candi Sawentar merupakan bukti bahwa mitigasi bencana pernah dilakukan pada masa lampau, yakni saat Ratu Suhita memerintah Majapahit. Hal ini terungkap pada keberadaan Candi Sawentar yang berupa pagar pembatas candi. Pagar ini pada zaman tersebut berfungsi sebagai pencegah banjir. Pagar candi tersebut dibangun dengan dua lapis bata berjejer sehingga dinding pagar memiliki lebar 40 cm.
Selain itu, pilar-pilarnya sengaja dibangun dengan tebal 70 cm dan panjang l00 cm. Pada bagian bawah pagar terdapat penguat bangunan sepanjang 30 cm. Pembangunan pagar candi tersebut memang bertujuan agar air tidak memasuki pelataran candi. Inilah hasil penemuan Tim Ekapedisi JawaDipa yang mengungkap manajemen pengurangan risiko bencana pada era Majapahit.
Beberapa kearifan lokal budaya Jawa lainnya yang terkait bentuk kepedulian lingkungan adalah tradisi bersih desa dan doa. Di desa-desa yang agraris, biasanya terdapat tradisi mengawali musim tanam dalam bentuk ucapan syukur kepada Tuhan. Biasanya terdapat larangan menanam tanaman tertentu. Jika ditelusuri terkait budaya lokalnya, tanaman tersebut tidak bisa berfungsi sebagai pencegah bencana misalnya menahan longsor.
Artefak-artefak bersejarah yang usianya ratusan tahun, tradisi lokal, dan cerita rakyat menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat telah mengenal mitigasi bencana sejak lampau. Apalagi Indonesia yang merupakan kawasan kepulauan dengan jajaran gunung berapi berada di atas lempeng sesar aktif. Tentunya dunia tak melupakan peristiwa bersejarah meletusnya Gunung Krakatau pada 1883.
Bagaimana caranya agar masyarakat bisa menjadi sigap, itu poinnya. Ada gap pengetahuan mitigasi bencana antara masyarakat di masa lalu yang akrab dengan forklore dengan masyarakat era modern yang cenderung mengabaikan narasi mitologi. Cerita rakyat dianggap sekadar mitos atau dongeng. Akibatnya, kearifan lokal yang sebenarnya membawa pesan mitigasi bencana tak tersebar.
Belum lagi, forklore kebanyakan masih dalam bahasa penutur yakni bahasa daerah. Sementara pada masa kini, tak semua orang menguasai bahasa daerahnya bahkan mengenal cerita rakyat di daerah asalnya atau kediamannya.
Pelestarian bahasa daerah mempermudah cerita rakyat ini disebarluaskan secara turun temurun. Contohnya warga Yogyakarta dan narasi mitologinya soal Gunung Merapi. Narasi mitologi ini berpadu dengan pengetahuan mitigasi bencana melalui sosialisasi dari lembaga terkait. Sejumlah komunitas warga lokal diberdayakan agar bisa membantu mitigasi bencana.
Salah satu bentuk kearifan lokal di lereng Merapi terkait mitigasi bencana adalah mengenali tanda-tanda alam. Turunnya satwa liar dari puncak gunung merupakan tanda aktivitas Merapi yang meningkat. Biasanya warga Lereng Merapi akan meningkatkan kewaspadaan.
Kearifan lokal tak hanya menyoal peringatan potensi bencana, tapi juga soal menjaga alam. Ekosistem yang terganggu dapat mengaburkan gejala yang disampaikan alam. Misalnya, hewan yang turun dari puncak gunung tak melulu karena aktivitas Merapi yang meningkat tapi karena habitat terganggu.
Pentingnya Melestarikan Bahasa Daerah
Cerita rakyat atau forklore adalah bentuk hudaya yang disampaikan turun temurun minimal dua generasi dalam bentuk tutur lisan, menurut antropolog Universitas Indonesia, Sri Murni. Folklore bisa berbentuk nyanyian tradisional, cerita rakyat.
Cerita rakyat ini biasanya dituturkan dalam bahasa asli yang digunakan pada masa itu dan biasanya berupa bahasa lokal atau daerah, atau sesuai suku daerahnya. Bahasa daerah mesti menjadi bahasa yang dilestarikan dan dipertahankan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, cerita rakyat itu tetap bisa disampaikan hingga generasi mendatang. Keberadaan bahasa daerah membantu cerita rakyat atau forklore ini tetap diingat dari generasi ke generasi.
Indonesia yang terdiri dari berbagai suku tentunya memiliki banyak cerita rakyat. Dari sekian banyak cerita rakyat tersebut, setiap daerah tentu mempunyai forklore yang berkaitan dengan isu mitigasi bencana dan bentuk kepedulian pada lingkungan.
Kearifan lokal yang terkandung dalam cerita rakyat bisa membantu masyarakat dalam menghadapi isu perubahan iklim.
Bayangkan apabila kisah-kisah yang bertema mitigasi bencana tersebut terjaga, dikenal dan dipelajari di setiap daerahnya. Baik dalam bentuk pertunjukan budaya, buku, dokumenter. Bisa juga diajarkan di sekolah-sekolah sehingga anak-anak pun juga belajar mengenai isu kepedulian lingkungan dan mitigasi bencana, dengan bahasa yang sederhana.
Menerjemahkan cerita rakyat yang aslinya dalam bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia juga bisa menjadi alternatif. Seperti yang sudah dilakukan beberapa pihak. Tentu saja dengan tetap menyisipkan bahasa daerah pada istilah-istilah tertentu agar budaya tetap terjaga.
Beberapa di antaranya forklore dari Simeulue Aceh yakni lagu Nandong Smong yang pernah diberitakan di sejumlah media dan peneliti. Bahkan kisah ini juga digunakan sebagai alat sosialisasi oleh lembaga pemerintah. Forklore Pikukuh Karuhundari dari Baduy yang mengajarkan irigasi air, larangan memasuki hutan adat serta menebang pohon. Dokumenter yang pernah dibuat oleh WatchDog Documentary menuturkan warga Mentawai memiliki narasi mitologi tentang gempa yang terjadi ratusan lalu.
Agar cerita rakyat efektif sebagai media pembelajaran mitigasi bencana, tentunya ini harus disertai panduan secara teknis dan relevan. Meliputi tindakan mitigasi sebelum, saat, dan sesudah.
Pertama, tindakan mitigasi sebelum bencana mencakup pengetahuan jalur evakuasi; logistik darurat yang harus disiapkan seperti makanan, minuman, obat-obatan; masker serta peralatan. Misalnya kacamata pelindung debu.
Kedua, tindakan mitigasi saat bencana. Dalam konteks bencana erupsi, hal yang harus dilakukan adalah memakai masker dan kacamata pelindung, mengenakan pakaian tertutup untuk melindungi tubuh. Menghindari tempat terbuka, lembah, daerah aliran sungai. Mengetahui kapan saatnya harus evakuasi misalnya saat melihat awan.
Ketiga, setelah bencana. Tindakan yang harus dilakukan adalah melindungi diri dengan berdiam di tempat aman dan menjaga kebersihan lingkungan dari dampak abu vulkanik.
Mencegah Tragedi Terulang
Mari belajar dari tragedi Aceh pada Desember 2004 yang membuat masyarakat mengetahui tsunami. Padahal tsunami pernah terjadi di wilayah tersebut, namun dalam kurun waktu puluhan atau ratusan tahun lampau. Ini terlukis dari nyanyian tradisional Smong dari Simeuleu yang berkisah soal tsunami pada masa lampau.
Banyaknya korban jiwa disebabkan kurangnya pengetahuan soal tanda-tanda bencana tsunami. Tak sedikit yang mengira hanya gempa biasa. Warga yang mengetahui bahwa gempa yang diikuti dengan surutnya air laut merupakan tanda bahaya, segera merespon dengan ajakan untuk naik ke tempat yang lebih tinggi.
Sejak adanya tragedi Aceh, pemerintah dan lembaga serta media lebih gencar sosialisasi mengenai mitigasi bencana. Sebuah museum juga dibangun agar masyarakat bisa belajar dari peristiwa kelam yang merenggut banyak jiwa tersebut.
Aceh kini sudah pulih. Pada 26 Desember 2024, masyarakat menggelar peringatan dua dekade tsunami Aceh di Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh.
Acara tersebut dihadiri penyintas tsunami sehingga masyarakat yang hadir termasuk generasi yang tak mengalami tragedi, bisa belajar dari peristiwa kelam tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, hal bisa dipraktekkan masyarakat adalah menjaga kearifan lokal, bahasa daerah, dan narasi mitologinya terutama yang berkaitan dengan tema alam.
Warga juga mesti tahu apa yang harus dilakukan ketika terjadi bencana. Apa tanda-tanda alam yang menunjukkan peringatan bencana, bagaimana harus melindungi diri, kapan manusia harus mengungsi. Selain itu bekal apa yang bisa dibawa. Area mana saja yang mesti dihindari atau termasuk rentan.
Berikut ini adalah sejumlah bencana alam yang pernah terjadi di Indonesia sebelum 2021:
Letusan Gunung Toba pada masa purba
Danau Toba di Sumatera Utara menurut situs Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dulunya merupakan supervulcano dan gunung api yang sudah tidak aktif.
Letusan Gunung Krakatau (1883)
Letusan Gunung Krakatu 1883 dianggap sebagai letusan eksplosif terbesar di catatan sejarah Indonesia, yang berdampak global.
Letusan Gunung Tambora (1815)
Ledakan Gunung Tambora pada April 1815, juga merupakan erupsi gunung terbesar yang berdampak global.
Letusan Gunung Merapi (1930 dan 2010)
Mengutip dari Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, sejak 1600-an, Gunung Merapi meletus lebih dari 80 kali, dengan interval letusan 4 tahun sekali. Erupsi terbesar terjadi November 2010.
Tsunami Flores (1992)
Wilayah yang terkena dampak tsunami berada di Kabupaten Sikka, Ende, Ngada, dan Flores Timur. Saat itu Indonesia belum memiliki ahli tsunami.
Gempa dan Tsunami Aceh (2004)
Gempa diikuti tsunami terjadi di Banda Aceh pada 26 Desember 2004. Tidak hanya di Indonesia, sejumlah negara yang terdampak tsunami misalnya Thailand, Maladewa, Malaysia.
Gempa, Tsunami, dan Likuifaksi di Palu dan Donggala (2018)
Bencana terjadi pada 28 September 2018 di Sulawesi Tengah Kabupaten Donggala dan Kota Palu.
Tentunya masyarakat berharap bencana tak terulang. Namun tragedi alam bisa menjadi pelajaran mengenai pentingnya pengetahuan mitigasi bencana. Cerita tradisional atau cerita rakyat serta kearifan lokal Nusantara banyak yang mengandung pesan-pesan tersebut. Masih banyak kekayaan cerita tradisional dari setiap daerah di Indonesia yang mungkin belum terungkap karena dituturkan dalam bahasa daerah.
Semoga dengan tetap melestarikan bahasa daerah, cerita rakyat khususnya yang bertema mitigasi bencana itu bisa diturunkan dari generasi ke generasi. Tak hanya untuk menjaga budaya, tapi juga demi menjaga habitat dan ekosistem alam Indonesia.
Nieke Indrietta
#BNPBIndonesia
#PortalLiterasiSejarahBencana
#SiapUntukSelamat
#BudayaSadarBencana
#RoadToBulanPRB
#PRB2025
#TangguhRek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Hi... terima kasih sudah mampir dan membaca blog saya. Mohon berkomentar dengan sopan, tidak meninggalkan spam, tidak menggunakan LINK HIDUP di kolom komen. Sebelum berkomentar, mohon cek, apakah Anda sudah memiliki profil di akun Anda. Profil tanpa nama atau unknown profil tidak akan diterima berkomentar. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sebaiknya tidak gunakan akun anonim.
Salam.