“Berapa dari hubungan yang pernah kamu punya, berakhir
dengan kata bosan?” tanyaku lagi. “Atau,
berapa dari hubungan yang pernah kamu punya, berakhir dengan ‘Dia berubah. Lalu
kami tidak cocok lagi’?"
“Hubungan kami menjadi hambar. Aku bosan. Tak ada lagi
letupan. Degupan. Penasaran.” Lalu pria ini memikirkan berbagai cara untuk
mengakhiri hubungan dengan kekasihnya.
Bosan, lalu putus. Segampang itu ya? Aku ingat bagaimana ketika
sang pria berapi-api menceritakan pertemuannya dengan sang perempuan. Begitu
detail ia menggambarkannya. Dari baju yang dikenakan sang perempuan, rambutnya,
hingga gerak-geriknya. Semua terekam dalam ingatan. Aku juga ingat, bagaimana
ia menceritakan momen-momen romantisnya dengan sang kekasih. Dan kini...
“Menurut kamu, apa itu cinta?” Aku melontarkan pertanyaan.
Ia terdiam. Lama. Menarik napas. Lalu menghembuskannya. “Apa
itu cinta?” Ia mengulangi pertanyaanku.
Aku menatap matanya. Sengaja membuka perdebatan.
“Oh come on...”
“Berapa dari hubungan yang pernah kamu punya, berakhir
dengan kata bosan?” tanyaku lagi. “Atau,
berapa dari hubungan yang pernah kamu punya, berakhir dengan ‘Dia berubah. Lalu
kami tidak cocok lagi’?”
“Apa itu cinta....” Dia mencari jawaban dengan mengulangi pertanyaanku.
“Kamu tahu nggak, apa yang dia sukai dan tidak dia sukai? Apa
makanan yang ia benci dan ia suka? Apa warna yang ia suka dan ia tak suka?
Bagaimana dia ingin diperlakukan?”
“Eh, tapi aku memperlakukannya dengan romantis. Aku
memberinya bunga dan coklat. Aku mengingat hari ulang tahunnya.”
“Tapi kamu tahu enggak, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
itu?”
Hening cukup lama. “...Tidak.
Tapi aku menerima dia apa adanya.”
“Tapi, kamu tahu tidak, apa jawaban-jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan itu?”
Hening kembali. Dia menggeleng.
Segampang itukah mengakhiri hubungan? Ketika terasa hambar. Seperti
mainan yang terlalu kerap dimainkan lalu bosan menyergap. Karena telah menjajal
segala hal, lalu penasaran lenyap. Ketika merasa sang kekasih berubah menjadi
pribadi yang berbeda. Bukankah setiap
orang tercipta tak sama? Bukankah tak ada pribadi yang sama? Bukankah setiap
orang akan selalu mengalami proses karena itulah orang akan selalu berubah?
“Jika suatu ketika, kamu menikahi seseorang, lalu hubungan
kalian menjadi membosankan, atau
katakanlah dia berubah. Apakah kamu akan berselingkuh? Atau menceraikannya?”
tanyaku lagi.
“Itu kan dalam pernikahan, bakal lain dong, Sob.”
“Enggak juga. Apa yang kamu lakukan dalam hubungan sekarang,
akan kamu lakukan juga dalam pernikahan.”
Hubungan sekarang semestinya adalah proses persiapan buat pernikahan
nanti. Saling mengenal dan memahami untuk saling menyesuaikan diri. Saling
belajar untuk memenuhi kebutuhan emosi masing-masing. Saling belajar memelihara
komitmen. Belajar menangani konflik ketika terjadi pertengkaran. Belajar
mengatasi perbedaan yang sekarang ada dan yang akan muncul nanti dalam
pernikahan. Belajar mencintai bukan dengan emosi. Tapi dengan komitmen. Sebab
emosi seperti air laut yang pasang surut. Tapi komitmen itu seperti matahari,
yang selalu menyinari bumi.
Akan datang hari-hari ketika cinta diuji. Ketika emosi
merasa hambar. Ketika bosan menyerang. Saat itulah, komitmen berperan. Bukan
perasaan yang timbul tenggelam. Akan datrang hari-hari, ketika badai
memporak-porandakan. Apakah kalian akan saling menyalahkan. Atau saling
menguatkan.
Barangkali itu sebabnya. Aku selalu menyebut hubungan itu
adalah proses pendewasaan bersama. Dan barangkali itu sebabnya. Aku lebih suka
mendengar pernyataan, “Would you grow old
with me?” ketimbang “Would you marry
me?”
Sebab pernikahan itu sekali seumur hidup.
Sebab pernikahan itu. Proses membuat pasanganmu jatuh cinta.
Dan makin jatuh cinta padamu. Setiap hari. Sampai ajal menjemput jiwa.
Sebab pernikahan itu. Menyatukan visimu dan visinya. Proses
perjuangan mewujudkannya bersama. Menorehkan sejarah. Yang kelak kisahnya akan
dikenang dan dihormati hingga anak cucu. Mewariskan destinasi hidup.
“Sob...,” kataku.
“Ya?”
“Cinta yang kamu
kenal. Itu dangkal.”
***
Sebuah fiksi yang patut menjadi sebuah renungan. Pernikahan kadang pasang surut tapi sekali lagi hubungan harus disertai dengan komitmen.
BalasHapusHak yah betul. Nggak cuma pernikahan, dalam hubungan sebelum pernikahan pun perlu komitmen. Hubungan sebelum pernikahan itu yang menjadi pegangan kira-kira seperti apa setelah dalam pernikahan.
Hapus