
Betapa terkesan meriah pagi ini. Membuka facebook, sejumlah orang menghiasi statusnya dengan mengucapkan selamat hari Kartini.
Lepas dari dunia maya, apabila Anda naik busway, terlihat sopir  perempuan mengenakan pakaian adat. Sebuah situs menulis berita bahwa si  sopir mengenakan baju Kartini.
Tak ketinggalan, apabila melewati jalanan, iring-iringan anak sekolah yang mengenakan pakaian adat.
Berikutnya... Sebuah pertanyaan yang sama dari tahun ke tahun saat hari  Kartini : kenapa dirayakan dengan perempuan mengenakan pakaian adat?  Sedangkal itukah hari Kartini?
Coba tanya pada orang, apa yang mereka ingat dari sebuah perayaan hari  Kartini. Jawabnya hampir sama : mengenakan pakaian adat. Atau, coba  tanya, siapa Kartini? Perempuan dengan kebaya dan rambut digelung.  Lantas apa?
Berapa yang menjawab bahwa hari ini adalah peringatan seorang perempuan  yang mencoba memperjuangkan haknya, setara dengan kaum laki-laki?
Tak heran, sekian tahun, belum banyak kebijakan yang mendukung kemajuan  perempuan di negeri ini. Saya tak menyangkal bahwa perempuan telah  mendapat kursi di gedung Senayan, menjadi pejabat pemerintahan, menteri.  Bahkan negara ini pernah mempunyai seorang presiden perempuan.
Tapi berapakah perempuan, yang digerakkan dengan kesadaran, untuk  membuat kebijakan dan sesuatu yang bisa mentransformasi kehidupan  perempuan?
Adakah jumlah perempuan pemegang kekuasaan sebanding dengan jumlah anak  perempuan yang menjadi anak jalanan, korban penganiayaan, pelecehan  seksual dan pemerkosaan? Adakah kebijakan yang membuat perubahan nyata  pada grafik perdagangan perempuan (trafiking)?
Berapa perempuan yang punya kesadaran penuh bahwa mereka bukan warga  kelas dua? Berapa perempuan yang sadar mereka bukan sekedar "dapur", "sumur", "kasur"? Berapa laki-laki yang--sebagai akibat kebijakan mendukung  transformasi perempuan--kemudian memperlakukan perempuan dengan hormat  dan layak? Berapa persen laki-laki yang memandang perempuan bukan sekedar obyek seks?
Bahkan, sebuah Undang-undang anti pornografi bisa menjadi sebuah bumerang untuk kaum perempuan.
Nyatanya, ketika saya berjalan dengan kemeja lengan panjang dan celana  jeans, tidak meluputkan saya dari celotehan iseng dari laki-laki di  pinggir jalan.
Nyatanya, perempuan dengan pakaian tertutup tak terhindar dari kekerasan.
Nyatanya, perempuan belum cukup dilindungi dalam kasus pelecehan seksual, penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga.
Membayangkan semua itu, lagi-lagi, saya menelan ludah. Menghela napas. Sebuah bayangan yang masih melayang-layang di udara.
Dan ah.... Lelah pun mendera saya. Kartini, jika kau hidup hari ini, seperti apakah reaksimu?
Berang? Menggebrak meja di gedung Senayan? Mengusap airmata?
Saya mempertanyakan makna perayaan hari Kartini. Kartini berbicara tentang intelektualitas, nasionalisme, diskriminasi... BUKAN KEBAYA DAN KONDE.
Saya awali hari ini dengan panas yang menggigit kulit. Saya nikmati  senja dengan laskar air dari langit. Saya tutup hari ini dengan  pertanyaan-pertanyaan pelik.
Setidaknya saya tersenyum, ketika membaca sebuah tulisan ini :
"Dalam Tuhan, tidak ada perempuan tanpa laki-laki, dan laki-laki tanpa  perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian  pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatunya berasal  dari Allah."
Lalu saya memejamkan mata dan mengangkat tangan saya. Saya tahu dan  tahu, Dia tak pernah mengabaikan saya. Dia tahu nilai seorang perempuan.
***
-Nieke Indrietta-
Jurnalis, penulis yang perempuan, perempuan yang menulis, anti poligami.