Menu

Percik Kata Nieke

Rabu, 22 Juni 2011

Ada Cerita di Kereta


Perempuan berkerudung itu menghempaskan tas kecilnya di atas kursi kereta ekonomi AC jurusan Depok-Stasiun Manggarai, Jakarta. Pukul delapan pagi, penumpang berjejalan. Ule, nama perempuan itu, bersyukur masih mendapatkan tempat duduk.

Tak lama, kuda besi itu berlari menuju jantung ibukota. Inilah ritual penduduk pinggiran kota yang mengadu nasib. Sepagi apapun Ule berangkat, kereta tetap penuh. Gerbong baru sela ketika jam masuk kantor terlewati. Ule tak punya pilihan. Ia memburu waktu, ada rapat awal pekan ini di kantor.

Ule baru saja akan mengatupkan matanya. Tidurnya semalam serasa masih kurang. Kepalanya sudah terantuk-antuk ke bawah. Pelupuk matanya seperti membawa kantong berisi penuh. Nyaris ia melayang ke alam mimpi.

"Dasar anak tidak tahu diri! Tahukah kamu, aku ini susah mengandung kamu. Tapi apa balasanmu?" Suara seorang perempuan yang naik darah.

Sekejap kantuk Ule hilang. Matanya terang benderang. Ia menengok ke arah lolongan amarah berasal. Seorang perempuan setengah baya dan anak perempuannya yang berusia 20 tahunan.

"Kau memang anak durhaka! Susah-susah aku menyekolahkanmu. Utang-utangmu itu aku juga yang bayar. Tapi apa balasanmu hah?" Gejolak perempuan setengah baya itu belum mereda.

Keduanya tak mempedulikan seisi gerbong menatap mereka.

"Kau hamil di luar nikah juga aku yang tanggung malu dan biayanya. Tapi begini balasanmu pada Ibumu?" Ia menjerit.

Anak perempuannya melengos menatap ke arah lain. Raut wajahnya menunjukkan kejengkelan luar biasa. Tapi tak ada mimik malu pada rupanya.

"Dasar Malin Kundang kau! Aku kutuk kamu!" Segala kepahitan di hatinya tumpah lewat mulut Sang Ibu.

Kereta berdecit dan berhenti di satu halte. Ule tak ingat nama tempatnya. Tak mendengar pula pengumuman yang biasanya didendangkan lewat pengeras suara kereta. Pertengkaran Ibu dan anak itu menyita perhatiannya.

Sang Ibu berdiri, meraih tasnya, lalu bangkit menuju pintu keluar. Tak sampai ia menjejakkan kaki di luar, tubuhnya mendadak lunglai. Seorang penumpang dekat pintu sempat menangkap tubuhnya sebelum terhempas.

Kali ini seisi gerbong riuh mengkhawatirkan nasib Sang Ibu. Sementara anak perempuannya tetap lengket pada kursinya. Hanya memandangi kejadian itu seolah tak mengenali perempuan yang pingsan itu sebagai orang yang melahirkannya.

Petugas di dalam kereta berlari-lari mendekati Sang Ibu. Lalu membopong tubuhnya ke luar untuk mencari pertolongan medis.

"Ada kerabat wanita ini?" Pekik petugas itu. Tak seorang pun menjawab.

Seisi gerbong kali ini menatap anak perempuan. Tapi perempuan muda itu pura-pura tak tahu.

Tubuh Sang Ibu dibawa keluar kereta. Terdengar peluit, tanda kereta akan melanjutkan perjalanan. Pintu tertutup otomatis. Kuda besi melaju kembali.

Sang Anak Perempuan tetap duduk tenang di tempatnya.

"Banyak cerita di kereta," kata Ule kepadaku, saat ia telah tiba di meja kantornya. Persis di samping kubikelku. "Kita pikir sinetron itu mengada-ada, tapi itu ada," celetuknya sambil menghela napas. Membuang sedikit kepedihan kala melihat Sang Ibu pingsan tanpa pertolongan anaknya.

Aku terdiam di depan layar monitor komputerku. Mencoba membayangkan seluruh kejadian itu terhampar di depanku.

Lalu aku menuliskannya di sini untuk kau baca. Supaya aku pun bisa berbagi padamu tentang nelangsa itu.



***
Nieke Indrietta

1 komentar:

Hi... terima kasih sudah mampir dan membaca blog saya. Mohon berkomentar dengan sopan, tidak meninggalkan spam, tidak menggunakan LINK HIDUP di kolom komen. Sebelum berkomentar, mohon cek, apakah Anda sudah memiliki profil di akun Anda. Profil tanpa nama atau unknown profil tidak akan diterima berkomentar. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sebaiknya tidak gunakan akun anonim.

Salam.