Selasa, 15 Juli 2014
Little Women
Aku ingin menceritakan perempuan-perempuan hebat ini. Mereka adalah orang-orang yang aku panggil sahabat: Effie, Floren, Joice, dan Monic. Aku tak pernah sembarang menyebut orang sahabat. Sebab kata sahabat bagiku adalah orang yang benar-benar mengetahui siapa kamu, baik dan burukmu, saat terbaik dan terendah dalam hidupmu.
Kisah kami mirip cerita dalam novel Louisa May Alcott, The Little Women. Bahkan mungkin lebih baik dari novel legendaris itu, ehem! Kami sudah seperti saudara, sekalipun beda orangtua, bahkan berbeda suku. Ini adalah kisah The Little Women versiku.
Rabu, 05 Februari 2014
Hanya Kontemplasi ketika Menyendiri
Orang kerap menyebut perempuan lebih bermain dengan perasaan dan cenderung subyektif. Sebagai perempuan, saya menyangkal stereotipe itu. Ya memang kebanyakan perempuan seperti itu. Tapi laki-laki yang termasuk kategori bermain perasaan dan lebih subyektif ketimbang obyektif pun tak sedikit.
Kamis, 30 Januari 2014
Bukan Kisah Cinderella
Sengaja menutup pintu, biar tidak ada yang masuk.
Tiba-tiba ada yang mengetuk,
Bingung... membukakan pintu atau membiarkannya tetap tertutup...
Sementara, rumah ini masih berantakan
Apa mungkin, membiarkan tamu masuk sementara aku masih sibuk menata yang berantakan?
-mengutip puisi karya Rina Widiastuti-
Rabu, 22 Januari 2014
The Truth About Heart
Kamis, 02 Januari 2014
Cinta yang Kamu Kenal
Senin, 15 Juli 2013
Happy Birthday, Malala!
ngintip isi blog Malala |
Gadis ini namanya Malala Yousafzai. Baru aja merayakan ulang tahunnya yang ke-16, pada 12 Juli kemarin. Tepat di hari ultahnya, di usianya yang masih belia, dia sudah berpidato di Majelis Umum PBB. Keren ya!
Ini kutipan pidatonya:
"...Ada yang mengatakan pulpen lebih perkasa dari pedang. Itu benar. Para ekstremis lebih takut pada buku dan pena. Kekuatan pendidikan menakutkan mereka. Mereka takut pada perempuan, kekuatan suara perempuan menakutkan mereka....
Rabu, 20 Juli 2011
Dunia Anak
Keindahan berbicara dengan anak-anak adalah imajinasinya.
Kesalahan orang dewasa adalah buru-buru meralat imajinasi anak dengan logika.
Rabu, 22 Juni 2011
Ada Cerita di Kereta
Perempuan berkerudung itu menghempaskan tas kecilnya di atas kursi kereta ekonomi AC jurusan Depok-Stasiun Manggarai, Jakarta. Pukul delapan pagi, penumpang berjejalan. Ule, nama perempuan itu, bersyukur masih mendapatkan tempat duduk.
Tak lama, kuda besi itu berlari menuju jantung ibukota. Inilah ritual penduduk pinggiran kota yang mengadu nasib. Sepagi apapun Ule berangkat, kereta tetap penuh. Gerbong baru sela ketika jam masuk kantor terlewati. Ule tak punya pilihan. Ia memburu waktu, ada rapat awal pekan ini di kantor.
Ule baru saja akan mengatupkan matanya. Tidurnya semalam serasa masih kurang. Kepalanya sudah terantuk-antuk ke bawah. Pelupuk matanya seperti membawa kantong berisi penuh. Nyaris ia melayang ke alam mimpi.
"Dasar anak tidak tahu diri! Tahukah kamu, aku ini susah mengandung kamu. Tapi apa balasanmu?" Suara seorang perempuan yang naik darah.
Sekejap kantuk Ule hilang. Matanya terang benderang. Ia menengok ke arah lolongan amarah berasal. Seorang perempuan setengah baya dan anak perempuannya yang berusia 20 tahunan.
"Kau memang anak durhaka! Susah-susah aku menyekolahkanmu. Utang-utangmu itu aku juga yang bayar. Tapi apa balasanmu hah?" Gejolak perempuan setengah baya itu belum mereda.
Keduanya tak mempedulikan seisi gerbong menatap mereka.
"Kau hamil di luar nikah juga aku yang tanggung malu dan biayanya. Tapi begini balasanmu pada Ibumu?" Ia menjerit.
Anak perempuannya melengos menatap ke arah lain. Raut wajahnya menunjukkan kejengkelan luar biasa. Tapi tak ada mimik malu pada rupanya.
"Dasar Malin Kundang kau! Aku kutuk kamu!" Segala kepahitan di hatinya tumpah lewat mulut Sang Ibu.
Kereta berdecit dan berhenti di satu halte. Ule tak ingat nama tempatnya. Tak mendengar pula pengumuman yang biasanya didendangkan lewat pengeras suara kereta. Pertengkaran Ibu dan anak itu menyita perhatiannya.
Sang Ibu berdiri, meraih tasnya, lalu bangkit menuju pintu keluar. Tak sampai ia menjejakkan kaki di luar, tubuhnya mendadak lunglai. Seorang penumpang dekat pintu sempat menangkap tubuhnya sebelum terhempas.
Kali ini seisi gerbong riuh mengkhawatirkan nasib Sang Ibu. Sementara anak perempuannya tetap lengket pada kursinya. Hanya memandangi kejadian itu seolah tak mengenali perempuan yang pingsan itu sebagai orang yang melahirkannya.
Petugas di dalam kereta berlari-lari mendekati Sang Ibu. Lalu membopong tubuhnya ke luar untuk mencari pertolongan medis.
"Ada kerabat wanita ini?" Pekik petugas itu. Tak seorang pun menjawab.
Seisi gerbong kali ini menatap anak perempuan. Tapi perempuan muda itu pura-pura tak tahu.
Tubuh Sang Ibu dibawa keluar kereta. Terdengar peluit, tanda kereta akan melanjutkan perjalanan. Pintu tertutup otomatis. Kuda besi melaju kembali.
Sang Anak Perempuan tetap duduk tenang di tempatnya.
"Banyak cerita di kereta," kata Ule kepadaku, saat ia telah tiba di meja kantornya. Persis di samping kubikelku. "Kita pikir sinetron itu mengada-ada, tapi itu ada," celetuknya sambil menghela napas. Membuang sedikit kepedihan kala melihat Sang Ibu pingsan tanpa pertolongan anaknya.
Aku terdiam di depan layar monitor komputerku. Mencoba membayangkan seluruh kejadian itu terhampar di depanku.
Lalu aku menuliskannya di sini untuk kau baca. Supaya aku pun bisa berbagi padamu tentang nelangsa itu.
***
Nieke Indrietta
Senin, 06 Juni 2011
Love Letters: Rimba Kata
Pagi telah menjemputku, dengan kereta impian.
Ada nada-nada yang menari-nari dalam hatiku
saat aku menghirup udara hari baru.
Nada-nada yang menuntunku padaMu.
Ada bara hangat dalam tungku hatiku.
Yang membakar jiwaku untuk selalu rindu
mencari dan mendengar suara Kekasihku.
Dan saat merindu itu menggelegak tumpah ruah,
ribuan kata dalam surat cintaNya
melompat-lompat mendesak isi kepalaku.
Kadang kata-kata itu menjelma
menjadi angin puyuh yang mengobrak-abrik isi hatiku.
Mendobrak benteng dan keangkuhanku.
Satu waktu kata-kata itu menjadi selimut hangat
yang mendekap hati yang lara dan terluka.
Menyesap perih dan membuangnya.
Saat lain, kata-kata itu menjadi tamparan
menyentakkan ketika jalan sudah goyang
dan agak menyimpang.
Kala emosi yang mengendalikan.
Ribuan kata itu bisa singgah
dan jadi apapun yang bukan kamu mau,
tapi kamu butuh.
Rimba kata yang ditulis
dengan kasih ayah pada anaknya.
Kamis, 21 April 2011
Mempertanyakan Hari Kartini
Betapa terkesan meriah pagi ini. Membuka facebook, sejumlah orang menghiasi statusnya dengan mengucapkan selamat hari Kartini.
Lepas dari dunia maya, apabila Anda naik busway, terlihat sopir perempuan mengenakan pakaian adat. Sebuah situs menulis berita bahwa si sopir mengenakan baju Kartini.
Tak ketinggalan, apabila melewati jalanan, iring-iringan anak sekolah yang mengenakan pakaian adat.
Berikutnya... Sebuah pertanyaan yang sama dari tahun ke tahun saat hari Kartini : kenapa dirayakan dengan perempuan mengenakan pakaian adat? Sedangkal itukah hari Kartini?
Coba tanya pada orang, apa yang mereka ingat dari sebuah perayaan hari Kartini. Jawabnya hampir sama : mengenakan pakaian adat. Atau, coba tanya, siapa Kartini? Perempuan dengan kebaya dan rambut digelung. Lantas apa?
Berapa yang menjawab bahwa hari ini adalah peringatan seorang perempuan yang mencoba memperjuangkan haknya, setara dengan kaum laki-laki?
Tak heran, sekian tahun, belum banyak kebijakan yang mendukung kemajuan perempuan di negeri ini. Saya tak menyangkal bahwa perempuan telah mendapat kursi di gedung Senayan, menjadi pejabat pemerintahan, menteri. Bahkan negara ini pernah mempunyai seorang presiden perempuan.
Tapi berapakah perempuan, yang digerakkan dengan kesadaran, untuk membuat kebijakan dan sesuatu yang bisa mentransformasi kehidupan perempuan?
Adakah jumlah perempuan pemegang kekuasaan sebanding dengan jumlah anak perempuan yang menjadi anak jalanan, korban penganiayaan, pelecehan seksual dan pemerkosaan? Adakah kebijakan yang membuat perubahan nyata pada grafik perdagangan perempuan (trafiking)?
Berapa perempuan yang punya kesadaran penuh bahwa mereka bukan warga kelas dua? Berapa perempuan yang sadar mereka bukan sekedar "dapur", "sumur", "kasur"? Berapa laki-laki yang--sebagai akibat kebijakan mendukung transformasi perempuan--kemudian memperlakukan perempuan dengan hormat dan layak? Berapa persen laki-laki yang memandang perempuan bukan sekedar obyek seks?
Bahkan, sebuah Undang-undang anti pornografi bisa menjadi sebuah bumerang untuk kaum perempuan.
Nyatanya, ketika saya berjalan dengan kemeja lengan panjang dan celana jeans, tidak meluputkan saya dari celotehan iseng dari laki-laki di pinggir jalan.
Nyatanya, perempuan dengan pakaian tertutup tak terhindar dari kekerasan.
Nyatanya, perempuan belum cukup dilindungi dalam kasus pelecehan seksual, penganiayaan, kekerasan dalam rumah tangga.
Membayangkan semua itu, lagi-lagi, saya menelan ludah. Menghela napas. Sebuah bayangan yang masih melayang-layang di udara.
Dan ah.... Lelah pun mendera saya. Kartini, jika kau hidup hari ini, seperti apakah reaksimu?
Berang? Menggebrak meja di gedung Senayan? Mengusap airmata?
Saya mempertanyakan makna perayaan hari Kartini. Kartini berbicara tentang intelektualitas, nasionalisme, diskriminasi... BUKAN KEBAYA DAN KONDE.
Saya awali hari ini dengan panas yang menggigit kulit. Saya nikmati senja dengan laskar air dari langit. Saya tutup hari ini dengan pertanyaan-pertanyaan pelik.
Setidaknya saya tersenyum, ketika membaca sebuah tulisan ini :
"Dalam Tuhan, tidak ada perempuan tanpa laki-laki, dan laki-laki tanpa perempuan. Sebab sama seperti perempuan berasal dari laki-laki, demikian pula laki-laki dilahirkan oleh perempuan; dan segala sesuatunya berasal dari Allah."
Lalu saya memejamkan mata dan mengangkat tangan saya. Saya tahu dan tahu, Dia tak pernah mengabaikan saya. Dia tahu nilai seorang perempuan.
***
-Nieke Indrietta-
Jurnalis, penulis yang perempuan, perempuan yang menulis, anti poligami.
Senin, 04 April 2011
Ketika Kamu Terluka
Tiap orang punya satu ruang kosong dalam hatinya yang tidak bisa diisi siapapun. Yang jika dipaksa isi, hanya ada luka. Ada malam-malam panjang yang merana kala ruang itu masih hampa. Siapapun yang singgah di sana hanya berikan lara. Itu bukan untuk mereka.
Hatimu terlalu berharga untuk mereka yang pernah menoreh luka. Airmatamu terlalu indah untuk mereka yang menggurat duka.
Waktu berbohong padamu, jika ia bilang bisa menyembuhkan luka.
Hati yang luka dan ruang yang hampa ibarat gelas anggur yang baru terisi separuhnya. Gelas anggur tak kan menjadi utuh jika ia bertemu dengan gelas anggur separuh pula. Sebab gelas itu tadinya adalah gelas yang kosong. Tak bisa ia menuangkan anggur yang separuh ke gelas yang isinya juga separuh, kalau akan menjadi gelas yang kosong. Gelas dengan anggur separuh hanya bisa terisi oleh pemilik anggur sendiri. Yang bisa membuatnya terisi penuh. Utuh.
Waktu adalah pendusta yang lihai. Membuatmu percaya telah menyembuhkan luka. Tidak. Ia hanya menguburnya saja.
Saat kamu telah terlena, mendadak ia bermain dalam alam pikiranmu. Memutar semua kenangan lama. Menguak luka. Waktu membuatmu tak sadar, kamulah yang memegang remote-nya. Kamu bisa menekan tombol "pause". Dan tetap berada dalam masa.
Menguak luka pun adalah suatu kenyamanan, yang membuat orang betah berkubang di sana. Jangan biarkan waktu memberi dusta. Kamu berharga.
Ketika kamu terluka, Ia terluka. Ketika kamu menangis, Ia menangis. Ia yang menenunmu sejak dalam kandungan ibu.
Dia, yang ingin membalut lukamu.
Kamis, 24 Februari 2011
Metamorfosa
kuukir sebuah harapan. Dan aku masih menunggu, bilakah padang satu musim kemarau kan menjelma menjadi bunga penuh warna?
Bilakah padang gersang itu menjadi hijau?
Tiap detik, tiap hembusan napas, tiap detakan jantung.
Tiap aku memejamkan mata. Satu saja pintaku. Menanti janjiMu.
Kutaruh harap, dalam padang gersang itu tengah tumbuh tunas. Kelak, tunas itu kan meretakkan tanah. Menyembul. Batangnya kan terus tinggi. Berakar kuat. Makin menjulang tinggi. Kuat. Lalu ia berbunga.
Dan aku tersenyum. Seperti melihat pelangi di balik awan mendung.
17 November 2009
*
Menanti Hujan di Padang Gersang
Kupanggil engkau Jingga
Yang datang suatu ketika
Mengeringkan padang gersang terburu-buru
Hingga rumput lingsut tertunduk lesu
Kupanggil engkau Biru
Yang datang suatu waktu
Hingga bunga tegak memandang
Datangnya hujan sebagai harapan
Kupanggil engkau Ungu
Yang datang menunggu waktu
Melukis pelangi di langit hati
Senyum yang terbit seperti matahari
November 20, 2008
Selasa, 29 Juni 2010
Hujan Rasa Kopi
Sebelum senja membuka mata
Ada gerimis yang lirih
Jatuh di atas kepala
Mengalir ke bibir
Hujan rasa kopi
Mungkin Tuhan lupa
menambahkan krim
sebelum mengirimnya
Tuhan, aku mau yang rasa strawberry
Ini terlalu pahit
Aku ingin mencium senja
Mendekap jingga
Membawa hangatnya udara
Memasukkannya ke rongga dada
Mengisi relung jiwa
Tapi jingga tak mampir
Butir demi butir hujan kuhirup
Baunya pun seperti ampas kopi
Pahit
Jakarta, Plasa Semanggi, Selasa, 29 Juni 2010
Nieke Indrietta
bersama dua perempuan senja: Dian Ariffahmi dan Arti Ekawati
Rabu, 23 Juni 2010
Aku dan Bahagia
Bahagia itu bukan yang hal rumit sebenarnya....
Bahagia itu ketika menatap rona jingga di pipi langit | menghangatkan hati yang gelisah.
Bahagia itu ketika aku menemukan surat cinta dalam tiap tetes hujan dari langit.
Bahagia itu ketika Tuhan mengirimiku hujan rasa strawberry, langit rasa jingga, parfum laut dan jubah pelangi.
Bahagia itu ketika melihat wajah terkejut Mama, ketika aku tiba-tiba muncul di depan dapur di hari ultahnya. Dia tak menyangka aku pulang.
Bahagia itu tidak ditentukan oleh orang-orang sekitarmu. Kamu bisa memilih mau bahagia atau tidak. Kamu yang tentukan.
Bahagia itu tidak ditentukan oleh keadaan senang atau susah. Bahagia itu adalah kekuatan kala menghadapi saat susah.
Bahagia itu ketika melihat hidup seseorang yang dekat dengan kita, berubah hidupnya, menjadi lebih baik.
Saya bahagia ketika menghadapi situasi sulit, saya menemukan ada jalan dan harapan.
Bahagia itu ketika saya melihatmu tersenyum, setelah membaca tulisanku.
Bahagia itu mengingatMu, yang setia padaku, sekalipun aku tidak setia, yang selalu percaya, aku bisa mencapai mimpi.
Bahagia itu ketika menerima telpon Papa, yang bertanya kamu sudah makan belum, jangan lupa makan.
Bahagia itu ketika menemukan teman, dengan kasih yang tidak bersyarat menerima diriku apa adanya.
Bahagia itu ketika aku menemukan diriku terpantul di kedua bola matamu.
Bahagia itu ketika aku menulis dan tulisan itu bisa mempengaruhi orang lain bangkit dari kehidupannya, menjadi inspirasi.
Bahagia itu ketika aku melihat orang-orang terkasih dalam hidupku, tersenyum dan tertawa.
Bahagia itu ketika Dia memberikanku kesempatan kedua untuk mengarungi perjalanan hidupku.
Bahagia itu ketika aku bisa mengalahkan ketakutanku dan menemukan ternyata aku mampu.
Sst... kamu bisa menemukan kebahagiaan, bahkan dalam hal yang sederhana. :)
http://twitter.com/katanieke
Minggu, 06 Juni 2010
Mesin Waktu
Jika kamu menemukan mesin waktu, apa yang akan kamu lakukan? Dan, jika kamu punya kesempatan kembali ke masa lalu, ke masa mana kamu akan kembali?
Ini bukan pertanyaan dalam benak saya saja. Simak, tiga film yang bercerita tentang mesin waktu yang tengah tayang di layar lebar: “Shreek 3: Forever After”, “Prince of Persia: The Sands of Time”, dan “Hot Tube Time Machine”. Saya sudah nonton dua judul pertama. Dalam salah satu mata kuliah ilmu komunikasi, saya mengetahui film itu merepresentasikan fenomena yang sebenarnya terjadi.
Kenapa orang ingin kembali ke masa lalu?
*
Dukuh Atas, Jalan Sudirman, Jakarta. Pertengahan Mei 2010.
Saya buru-buru melompat ke dalam taksi segera setelah mobil itu menepi. “Proklamasi, Pak. Kita lewat Manggarai,” kata saya.
Lalu saya menyenderkan punggung. Sejenak memejamkan mata sambil mengingat hal-hal yang harus saya lakukan hari ini. Sampai suara “sember” sang sopir memecah keheningan.
“Di mana-mana jalan macet, Neng,” ucapnya. “Banyak demo.”
“Ohya?” Alis saya berkerut. Berusaha keras mengingat ini hari apa. “Oh, sepuluh tahun lalu kan Soeharto lengser,” jawab saya ketika berhasil mengingat.
“Ah, zaman sekarang ini memang nggak enak. Apa-apa susah. Cari makan susah. Cari pekerjaan susah. Lebih enak zaman Soeharto dulu, kan semuanya makmur,” katanya dengan nada dongkol.
Dahi saya langsung berkerut. Pikiran saya menolak. Tapi saya memilih mendengarkan pendapatnya, toh semua orang berhak memiliki pendapat yang berbeda.
“Coba, apa yang dihasilkan sekarang. Jalan tol, gedung-gedung, yang membangun kan Soeharto. Sekarang orang miskin bertambah, cari duit susah,” keluhnya bertubi-tubi.
Sebenarnya dalam pikiran saya tersedia argumentasi: tanpa bermaksud membela pemerintah sekarang, tentu saja jumlah orang miskin bertambah. Lha wong tiap tahun jumlah penduduk bertambah.
Urbanisasi makin kencang karena kesejahteraan tidak merata di seluruh daerah. Melihat tipe orangnya, percuma diajak debat. Dia sudah keukeh dengan pendapatnya. Saya memilih diam, dengan pemikiran, nanti toh kalau sudah capek bicara dia bakal diam. Mungkin dia lelah dengan beban ekonominya. Orang tipe begini hanya perlu didengarkan. Tidak perlu lagi diceramahi. Dia capek menanggung kehidupan.
Tapi dia terus saja bicara dan mengagung-agungkan masa lalu.
“Pak,” akhirnya saya bicara, dengan nada lembut. “Tidak sepenuhnya zaman dulu itu enak. Zaman itu banyak orang hilang misterius, tahu-tahu ditemukan sudah jadi mayat. Banyak yang diculik, dan tidak kembali. Jalan tol itu, yang bangun juga masih dinasti, yang masuk kocek keluarganya sendiri. Sebenarnya, tiap zaman itu ada pahit manisnya juga. Sama saja seperti sekarang,” tutur saya.
Bukannya dia menjadi semakin tenang, kedongkolannya semakin memuncak. Dia semakin memuji-muji pemerintahan orde baru yang menurut dia sukses dengan kemakmurannya. Ah, batin saya, andai dia tahu betapa di daerah terpencil dan pedalaman luar sana, pada masa itu penduduk banyak menjerit kelaparan dan kekeringan tanpa air. Dan jika zaman sekarang ini seperti pemerintahan orde baru, orang-orang dengan profesi seperti saya—wartawan—tak akan hidup tenang. Bisa diteror kapan pun, atau diancam pembunuhan bahkan menghilang.
Kenapa sih, orang ini “ngebet” sekali ingin kembali ke masa lalu?
*
Siapa sih, yang tidak pernah ingin kembali ke masa lalu? Masa-masa sulit, selalu membuat kita menoleh ke belakang, saat situasi masih begitu nyaman.
Saya pun pernah mengalaminya. Saya pernah hidup yang tidak kekurangan. Tidak usah mikir hari ini bakal makan apa, semuanya tersedia. Saya tinggal menadahkan tangan dan uang itu bakal mengalir ke kocek saya. Mobil dan sopir semua tersedia. Mau makan dan minum saya tinggal panggil pembantu di rumah, dan mereka buru-buru menyediakannya di meja makan saya. Arloji merek terbaru. Mobil keluaran terbaru. Saat parabola masih menjadi barang mewah dan langka, di rumah saya payung besi terbalik raksasa itu sudah nongkrong. Semua orang di sekolah mengenal siapa saya dan keluarga saya.
Benar pepatah bilang, hidup itu seperti roda yang berputar. Kadang kamu di atas, dan satu waktu kamu bakal di bawah. Krisis ekonomi datang dan menghajar semuanya. Bahkan rumah pun saya tidak punya. Tinggal harus mengontrak dari satu rumah ke rumah lain. Impian untuk sekolah di luar negeri pupus sudah. Saat-saat itu, betapa saya merutuki hidup.
Kesulitan yang datang bertubi-tubi memang bisa membuatmu mempertanyakan makna hidup dan siapa Tuhan. Saya mengerti rasanya. Betapa tidak nyaman jika kamu pernah memiliki kenyamanan dan semuanya itu tiba-tiba hilang begitu saja. Itu menyakitkan.
Saat itu, saya begitu ingin mengubah sejarah. Saya ingin kembali ke masa lalu.
Pertanyaan saya: “Tuhan, jika Kau memang ada, kenapa kau biarkan aku menderita?”
Tanpa saya sadar, hidup tengah memberikan bab pelajaran baru dalam catatan perjalanan kehidupan saya. Saya belajar hidup sederhana. Saya belajar rendah hati. Saya belajar naik angkutan kota. Saya bicara pada pedagang kaki lima dan pengemis. Saya mengenali siapa orang-orang yang tetap bersama saya ketika kehidupan saya memasuki masa kegelapannya. Saya menemukan teman-teman sejati saya. Orang-orang yang menarik saya dari dalam kegelapan dan membuat saya kembali mencintai kehidupan.
“Segala sesuatu yang kamu alami tak akan pernah melebihi kekuatanmu,” kata seorang teman di Jogja.
“Lalu kenapa Tuhan diam saja ketika saya menderita?” saya bertanya.
“Dia mengizinkan segala sesuatu itu terjadi untuk membentukmu menjadi sesuatu yang Dia siapkan. Suatu saat, kamu akan bertemu dengan orang-orang yang mengalami hal yang kamu alami. Dan kamu akan membagi pengalaman hidupmu pada mereka,” kata teman saya.
Milikilah harapan. Harapanlah yang membuat kamu hidup, bukan hidup itu sendiri. Saat kamu berjalan bersama Tuhan, kamu akan selalu menemukan harapan itu.
Teman saya itu benar. Saya bisa melaluinya. Hidup terus berjalan. Perubahan terjadi. Tantangan hidup selalu ada, tapi saya tahu di mana kekuatan sejati saya.
Saya bisa memilih, hidup dengan hati yang ditawan masa lalu, atau bergerak menerobos masa depan dengan harapan. Pikiran adalah mesin waktu itu. Saya punya pilihan menekan tombol off untuk melompat ke masa lalu. Dan menekan tombol on untuk menjalani hidup sekarang.
Napas saya masih berhembus. Jantung saya masih berdetak. Sampai saat ini. Saya tidak mau kembali pada masa lalu saya. Sama sekali.
*
“Belok mana, Neng? Kiri atau kanan?” tanya sopir dengan suara “sember” itu.
“Kiri Pak, kalau kiri itu Proklamasi. Kalau ke kanan itu Kramat Raya,” jawabku. Rupanya, dia berhenti mengoceh karena aku diam dan tidak menanggapi omongannya.
Taksi itu kuminta menepi di sebelah kiri, sebuah bangunan tingkat yang letaknya tak jauh dari Toko Buku Immanuel.
“Ini kantor apa, Mbak?” tanyanya.
“Oh, ini kantor Tempo. Majalah Tempo.” Aku melirik argo taksi, Rp 12.500. Aku membuka dompet dan mengambil uang dua puluh ribu.
“Majalah Tempo? Oh... Tempo, yang pernah dibredel itu? Ada yang namanya Bambang Harimurti itu?” suaranya seperti tercekat. Sepertinya dia mulai sadar, sepanjang perjalanan dia salah bicara.
“Iya, betul Pak,” ucapku sambil menyerahkan uang. “Tidak usah kembaliannya, buat Bapak saja, semoga hari Bapak menyenangkan,” lanjutku sambil tersenyum.
Bruk. Kututup pintu taksi. Berjalan menuju pintu masuk kantor yang terbuat dari kaca. Dari pantulan kaca, kulihat taksi itu belum juga beranjak. Bahkan sampai aku masuk dan menoleh ke luar, taksi itu masih belum beranjak. Sampai beberapa detik kutunggu, sedan itu baru berjalan.
Entah apa yang ia pikirkan.
***
Nieke Indrietta
Jakarta, Minggu, 6 Juni 2010
Minggu, 30 Mei 2010
Situasi Sulit Itu....
Apa arti saat sulit buatmu?
Situasi yang sulit membuat kita belajar: siapa Tuhan bagi kita dan siapa kita bagi Tuhan.
Situasi yang sulit menjadi kelas praktikum untuk menghadapi hidup dengan iman dan melihat diri kita sesuai apa janjiNYA.
Situasi yang sulit membuat kita merendahkan hati, meletakkan kekuatan dan harapan di tanganNYA.
Keberhasilan menghadapi situasi yang sulit membuat kita menyadari: ini bukan cerita tentang kita. Ini cerita tentang DIA.
Situasi yang sulit itu seperti cermin yang membuat kita melihat siapa sesungguhnya diri kita, dan apa yang tersembunyi di dalam hati kita.
Nieke Indrietta
(on my way to Kuningan Place this morning, Sunday, May 30, 2010)
Selasa, 25 Mei 2010
Pena
"Apa yang saya lakukan tidak menentukan siapa saya
akan tetapi siapa saya menentukan apa yang saya lakukan.
Selasa, 30 Maret 2010
Surat Kepada Gadis Beijing
Surat ini kutulis untuk gadis yang aku lupa nama-namanya. Belakangan, aku membaca berita beberapa perempuan di Beijing melakukan operasi plastik demi pria. Ada yang merombak wajahnya menjadi Jessica Alba, aktris terkenal dari negara Abang Sam, karena pacarnya menggilai perempuan itu. Ada yang terobsesi mengubah wajahnya menjadi Angelina Jolie. Berita yang kubaca kemarin, perempuan di Beijing itu mau mengubah wajahnya demi calon suaminya. Sang pria hanya mau menikahinya kalau sang perempuan mau bedah plastik. Mengubah wajahnya persis seperti mendiang istrinya.
Jumat, 26 Maret 2010
Sahabat Setia
Anjing, hewan peliharaan paling setia bagi manusia. Hachiko salah satunya. Ini film yang dibintangi aktor ganteng Richard Gere. Saya nonton film itu beberapa waktu lalu. Hachiko adalah anjing kesayangan Parker Wilson (diperankan Richard Gere), seorang dosen. Setiap berangkat kerja, Hachiko menemaninya ke stasiun. Pulang ke rumah. Lalu pergi lagi ke stasiun pada jam Parker pulang kerja, menunggunya di depan stasiun.
Suatu hari, Parker meninggal saat mengajar. Ia tak pulang. Hachiko menunggunya di depan stasiun hingga larut malam. Hachiko tak tahu jika Parker telah tiada. Biarpun Hachiko kemudian dibawa pulang putri Parker, esoknya, Hachiko tetap menunggu Parker pulang di depan stasiun. Tiap hari. Hingga sembilan tahun. Bayangkan, sembilan tahun! Hingga Hachiko menghembuskan napas terakhir pada jam Parker pulang kantor, di depan stasiun yang sama.
Tak bisa menahan air mata jatuh dari pelupuk mata. Adegan demi adegan seekor anjing yang setia menunggu kepulangan tuannya membuat saya tertegun. Hanyut dalam haru. Film ini memang bercerita tentang kesetiaan dan kasih sayang.
Saya keluar dari bioskop dengan mata sembab. Naik taksi dengan adegan demi adegan yang masih bermain-main dalam pikiran. Seekor anjing yang begitu setia. Adakah pribadi yang seperti itu? Kesetiaan sekarang mahal harganya. Saya punya banyak teman, tapi berapa yang setia? Berapa yang ada dalam masa suka dan duka saya? Saya benci ketidaksetiaan.
Diri saya, apakah saya setia kepada teman-teman saya? Dalam hal apa saya setia? Apakah saya setia mengingatkan ketika mereka berbuat salah? Apakah saya ada ketika mereka dirundung duka? Adakah saya saat mereka membutuhkan tempat mencurahkan kata dan airmata? Puluhan pertanyaan memberondong pikiran saya. Mungkin mereka juga benci melihat ketidaksetiaan saya.
Ah, bukankah manusia membutuhkan pribadi yang setia?
Yang bisa menerima kita apa adanya.
Yang ada dalam suka dan duka.
Yang tidak memanfaatkan kita.
Yang tetap tersenyum saat kita melakukan kesalahan.
Adakah pribadi yang seperti itu?
Sesampai di rumah, saya tak bisa memejamkan mata. Saya berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Lalu suara itu muncul.
“Bukankah Aku selalu setia menunggumu?”
Tak sampai semenit, masa lalu saya berkelebat. Ketika saya putus asa, sendirian, benci melihat hidup sendiri. Potongan-potongan gambar itu begitu jelas seperti film yang sedang diputar.
“Saat itu, Aku selalu menunggumu untuk menolehkan wajahmu padaku.”
Seperti seorang pria yang jatuh cinta. Yang menatap lekat perempuan yang dikasihinya. Yang mengamatinya dari kejauhan. Yang berharap perempuan itu menoleh padanya, lalu tersenyum. Aku rindu mengasihimu. Seperti seorang kekasih Aku menanti. Aku ingin terlibat dalam kehidupanmu. Menjadi sahabatmu. Aku memanggilmu dengan lembut. Dengan bisikan dalam hatimu. TanganKu menopangmu supaya kamu tak jatuh tergeletak. Bukankah Aku selalu ada untukmu?
Akhirnya kamu datang padaku. Kamu berlutut dan mengucapkan namaKu, untuk kamu patri dalam hatimu. Aku sangat senang saat itu. Aku memelukmu. Tak ingin melepasmu. Kamu menitikkan airmata. Kamu merasa tak layak. Tapi Aku bilang, tak apa. Aku punya kasih yang sempurna, meski kamu tak sempurna.
Sampai sekarang pun, Aku selalu ada untukmu. Aku selalu setia untukmu. Mataku selalu tertuju padamu. Datanglah dan nikmati kasihKu. Kau bisa datang kapanpun. Kau bisa menghubungiKu kapanpun. Tiap detik, tiap menit. 24 jam.
Kita berbagi rahasia. Kita tertawa. Kita menangis bersama.
Aku selalu ada untukmu.Kamu tidak lagi terpisah dariku.
Ah, saya hampir saja melupakan ini. Ketika berada dalam masalah, saya cenderung berusaha dengan kekuatan sendiri. Saya melupakannya, ketika saya mengutamakan kekhawatiran dan ketakutan. Tapi Dia selalu setia. Selalu menunggu saya datang padaNya. Dia tak berubah sedikitpun sejak saya mengenalNya. KesetiaanNya meremukkan hati saya.
“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” (1 Yohanes 4:16)
Dengan pribadi seperti itu, saya tak mampu mengelak. Detik itu, saya bisa merasakan makna lagu “Deep in Love with You” dari Michael W. Smith. Kata-katanya terngiang-ngiang di kepala saya. Melodinya menari-nari di hati saya.
Sitting at Your feet is where I want to be
I'm home when I am here with You
Ruined by Your grace, enamored by Your gaze
I can't resist the tenderness in You
I'm deep in love with You, Abba Father
I'm deep in love with You, Lord
My heart, it beats for You, precious Jesus
I'm deep in love with You Lord (Michael W. Smith)
***