Menu

Percik Kata Nieke

Kamis, 18 Februari 2010

Pembawa Pesan


Ow bintang!

Kerling matamu manja

Lebih ceria dari lampu temaram kota

Menghias sisa senja

Menemaniku yang masih terjaga

Menyusun kata-kata

Ow bintang!

Ingin kukecup keningmu

Bilang, terima kasihku pada penciptamu

Dan, oh, bisikkan padaNya, "Engkau sudah mencuri hatiku."




Kuningan Place, 17 Februari 2010

Senin, 01 Februari 2010

Sebuah Mahakarya




Sebuah ladang gandum kuning keemasan langsung tersaji di benak saya. Lamat-lamat, bibir saya membacakan sepotong prosa Wendoko, dari bukunya yang bertajuk “Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa.”

Ladang gandum mengombak
-cokelat dan kuning emas.
Langit adalah goresan yang patah-patah
di muka kanvas
-kuning-pudar dan bergaris hitam.
Ada matahari yang bulat – kuning-pucat.
......


Dua orang yang sedang duduk bersama saya—sore itu—terkesima. “Waw, itu judulnya apa?” tanya Ps Evelyn. Dialah yang baru saja memberikan buku itu kepada saya, masih terbungkus sampul dan kantong plastik sebuah toko buku ternama. Saya yang tak sabar segera merobek plastik pembungkus dan acak membaca halaman demi halaman. Lalu menemukan sepotong prosa itu.

“Van Gogh : Wheat Field Behind Saint Paul Hospital With A Reaper,” jawab saya sambil tersenyum. Terperangkap dalam pesona kata-kata sang penyair.

“Waw,” Viona mendesis. Pandangannya menerawang. Saya yakin, ia pun membayangkan imaji ladang gandum yang sama.

“Van Gogh, bukankah ia seorang pelukis,” ujar Ps Evelyn.

“Ya, ya, dia seorang pelukis,” jawab saya.

Mungkin sang penyair menatap lukisan pelukis Belanda itu. Merekam dalam ingatan. Lalu menumpahkannya kembali ke dalam ramuan kata-kata.

“ Vincent Van Gogh bukan?” ucap Ps Evelyn.

Sekali lagi saya mengangguk. Benar, Van Gogh yang itu. Pelukis yang malang. Seluruh lukisannya terkenal, menjadi mahakarya, justru ketika ia mati. Ironinya, semasa pemuda ini hidup, tak seorang pun menghargai karyanya. Van Gogh memberontak dari aliran impresionisme. Ia memilih melukis dengan ekspresif. Orang-orang menganggapnya aneh, memandang sebelah mata. Laki-laki ini depresi. Mengakhiri hidupnya. Setelah Van Gogh meninggal, justru orang menoleh pada karyanya. Lalu meledak menjadi mahakarya.

“Ya ampun, jadi ia terkenal setelah ia mati? Setelah ia bunuh diri?” Viona melongo.

Lagi-lagi saya mengangguk. Ironis ya.

“Masa kita harus bunuh diri dulu baru kemudian bisa terkenal?” ucapnya kemudian. Masih terheran-heran.

Kalimat Viona berdengung di telinga. Seperti lebah. Masa kita harus bunuh diri dulu baru kemudian bisa terkenal? Lalu siapa yang akan menikmati hasilnya? Orang lain?

Benar kata pepatah, banyak jalan menuju Roma. Maksud saya, sepertinya memang benar-benar banyak cara untuk menjadi terkenal. Dari yang ekstrem negatif sampai ekstrem positif. Tapi kalau benar-benar mencermati berita-berita di koran dan majalah, acara gosip dan hiburan di televisi, lebih banyak negatifnya.

Ada bintang film yang terkenal setelah berpose nyaris telanjang di sebuah film atau majalah.
Si penyanyi itu terkenal setelah menjadi simpanan pengusaha.
Pejabat itu naik pangkat setelah menendang rivalnya, membuat jebakan intrik dan politik.
Konglomerat itu berhasil mencaplok sejumlah perusahaan kecil setelah sebelumnay mengintimidasi mereka.
Rocker itu terkenal dengan aksi panggungnya setelah mencandu narkoba.
Perempuan itu populer karena tak segan memamerkan bagian-bagian tubuhnya yang sensitif. Menjadikannya komoditas bergilir.

Daftar ini bisa panjang kalau diteruskan. Yayaya, mereka pun melakukan bunuh diri sebenarnya. Bunuh diri yang bukan fisik. Bukan raga yang mati. Tapi jiwa, harga diri, nilai, moral, prinsip. Itulah yang mereka bunuh dalam diri mereka. Dikorbankan sebagai tumbal supaya diri mereka populer, diterima banyak orang, kaya raya, punya tahta. Sebenarnya kita sering melakukannya juga.

Tidak percaya?

Ketika kita melontarkan kata-kata dan sikap yang melukai hati orang lain. Lalu kita enggan meminta maaf karena gengsi.
Ketika kita bertengkar dengan orangtua.
Ketika kita membohongi seseorang.
Ketika kita mengkhianati kepercayaan seseorang yang dekat dengan kita.
Ketika kita membalas dendam.
Memaki orang.
Kesal ketika dituduh melakukan sesuatu oleh bos, lalu membicarakannya di belakang.
Enggan memaafkan.


Masih panjang juga daftarnya kalau diteruskan. Berapa kali kita membunuh suara nurani saat itu terjadi? Ketika kita mengutamakan ego? Uh-oh. Sepertinya cuma manusia setengah dewa yang bisa menghindarinya, yang sudah tidak menghirup napas di bumi. Yang terbang di awan-awan.

Um... tapi seseorang bilang pada saya. Tak ada sesuatu yang mustahil. Apalagi setelah saya mengenal Dia. Ngomong-ngomong, sudah kenal Dia belum? Seorang laki-laki yang lahir di Betlehem, namanya Yesus. Setelah mengenalNya, kerinduanNya adalah kita menjadi serupa dengan Dia. Dia memberi kita kasih karunia, yang menyanggupkan kita serupa dengan Dia.

Tunggu, tunggu. Apa hubungannya terkenal dan menjadi serupa dengan Dia?


Sebagai orang Kristen, kita adalah garam dan terang kan? Terang, artinya kita bersinar di antara sekelompok orang. Ya, kita bisa terkenal, dikenal, tanpa kita harus “membunuh” nurani. Lalu menjadi zombie. Bukankah Yesus memberi jalannya?

Kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus. Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya (Roma 6 : 11-12).


Yang seharusnya kita bunuh adalah “ego”. Um, ya-ya-ya. Ini berat. EGO. Penguasaan diri. Hufff.... Saya ingin menarik napas.

Ketika disalahkan atas sesuatu yang sebenarnya bukan salah kita, tapi mesti memaafkan.
Mesti bersabar pada orang yang berkali-kali melakukan kesalahan. (Padahal ingin marah-marah!)

Ehm, yang ini daftarnya juga bisa panjang. Awh! Ini tak mudah, memang. Tapi hanya orang yang sanggup membunuh “ego”nya, yang hidupnya bisa berubah. Ketika kita mematikan ego satu demi satu, cahaya Kristus mulai bersinar dalam diri kita. Karakter kita yang berubah. Orang memandang kita berbeda. Saat itulah, Tuhan memahat sebuah mahakarya dalam diri kita. Sebuah lukisan kehidupan, yang terdiri atas kepingan-kepingan yang disatukan. Dan di pojok kanan bawah kanvas, ada guratan namanya.

“From Jesus, with love.”
Hmm... rasanya seperti dipeluk Tuhan.


***

Jumat, 29 Januari 2010

Untung, Tuhan Tidak Kapitalis




Begini. Terus terang, dahi saya berkerut kala saya menonton film layar lebar 2012. Bukan karena spesial efek yang mengagumkan. Bukan karena adegan-adegan tak masuk akalnya atau cerita yang seru. Juga bukan karena saya merasa takut kiamat.

Saya yakin sebagian besar orang sudah menonton film besutan Roland Emmerich itu. Ya, itu tuh, tentang ramalan suku Maya bahwa sistem kalender berakhir pada Desember 2012. Lantas apa yang terjadi setelah itu? Spekulasi kiamat pun muncul. Mencari selamat, mereka membuat sebuah bahtera raksasa seperti zaman Nabi Nuh. Nah, ini yang membuat dahi saya berkerut.

Mau selamat dari kiamat? Anda bisa membeli tempat di bahtera ala Nabi Nuh.

Boleh saya ulangi kalimat ini?

Mau selamat dari kiamat? Anda bisa MEMBELI TEMPAT di bahtera ala Nabi Nuh.

Keselamatan menjadi komoditas perdagangan menjelang kiamat. Saya tak heran, dalam film itu, orang-orang yang bisa membeli tempat hanya orang-orang yang berduit. Konglomerat. Pejabat. Mungkin uang itu dibeli dari uang hasil manipulasi dan korupsi, atau judi. Entah. Yang jelas mereka sangat berduit.

Lalu ada adegan, beberapa otoritas memilih siapa rakyat jelata yang akan diselamatkan. Otoritas ini memeriksa setiap orang. Mereka menetapkan syarat orang untuk bisa selamat : sehat jasmani dan rohani, intelektual, punya kemampuan tertentu.

Dasar film Hollywood. Dasar kapitalis. Saya pikir, begitulah jika manusia membuat film keselamatan dengan versi manusia. Keselamatan menjadi sesuatu yang bisa diperjualbelikan. Keselamatan tergantung kamu punya uang atau tidak. Ah, tapi bukankah begitu pertemanan di bumi selama ini? Orang mengukur orang lain dengan uang, jabatan, kepentingan, kepandaian, kecantikan.

Yang jelas, dalam 2012, saya melihat : begitulah yang terjadi jika manusia yang menentukan ukuran keselamatan. Saya yakin dunia nyata tak jauh berbeda. Lihat saja realita. Tengok surat kabar, televisi, dunia elektronik maya.

Lalu saya bersyukur, bukan manusia yang menentukan keselamatan.

Tuhan menggunakan ukuran berbeda, yang kita sendiri tak akan pernah sanggup memahami pola pikirNya. Ukurannya bukan uang, bukan materi, bukan kepandaian, bukan kecantikan. Malah, orang-orang yang hancur hidupnya, yang remuk redam hatinya, yang mengelana jauh dariNya.

Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu; jangan ada orang yang memegahkan diri (Efesus 2:8-9).

Jika Tuhan adalah seorang gembala domba, Dia akan meninggalkan 99 ekor untuk mencari satu yang hilang. Jika Tuhan adalah seorang pedagang, Dia tak akan rela jika satu sen pun menghilang. Dia akan mencari pelita, berjongkok-jongkok dan mencarinya sampai ketemu.

Begitu besar kasih Tuhan pada manusia, hingga Dia mengirim putraNya yang tunggal, untuk mati di kayu salib. Seorang putra mahkota kerajaan surga, menanggalkan jubah kerajaannya dan menjadi rakyat jelata, sama seperti kita. Seorang anak laki-laki yang lahir, dengan tujuan mati di kayu salib. Darah yang tercurah di kayu salib itulah yang mengubah kehidupan kita.

Tuhan tak pernah meminta kita MEMBELI KESELAMATAN. Tuhanlah yang MEMBAYAR KESELAMATAN buat kita. Tuhan telah MENYEDIAKAN TEMPAT untuk kita. Melupakan kesalahan-kesalahan di kehidupan lama. Memberi kita kehidupan yang baru.

Dia menunggu di lorong depan kamarmu ketika kamu menutup pintu hatimu. Dia duduk di sebelahmu, ketika kamu menangis. Dia melihat hatimu yang hancur, jemariNya ingin meraihmu untuk menyatukan kepingan hati itu. Dia melihatmu tertawa dan bercanda dengan teman-temanmu, ingin ikut bergabung denganmu. Ketika kamu tertekan dan tak ada yang bisa diajak curhat, Dia di sampingmu. Menyendengkan telingaNya untuk mendengar tiap perkataanmu. Ingin memelukmu.

Dia rindu untuk bercakap-cakap denganMu. “Maukah kamu membuka pintu hatimu?” bisikNya lembut. Dia mau kamu bertemu secara pribadi denganNya.

Setelah kita mengalami pertemuan pribadi denganNya pun, ketika kita melakukan kesalahan, kasih karunianya selalu tersedia. Sebuah kasih yang tak terukur, yang membuat kita sanggup mengasihiNya. Memberi kekuatan untuk mengarungi perjalanan bersamaNya.

Ah, untung Tuhan tidak kapitalis!

***

Jumat, 22 Januari 2010

Bimbang


[cerpen ini pernah dimuat di Jawa Pos, Senin, 26 Mei 2003. Lalu sedikit direvisi pada Maret 2009]

"I hope you will start to learn English now."
Jogja, 15 Maret 2003

KATYA mengamati tulisan pada bagian dalam di buku tentang posmodernisme itu. Katya menulisnya tempo hari. Belum ada kesempatan untuk memberikannya pada Stefan.

Cantik


[Cerita pendek ini pernah dimuat di Jawa Pos, 18 Juni 2002. Pemenang utama lomba menulis cerpen Deteksi Grand Prix yang diadakan Jawa Pos]

-- "Aku nggak sanggup menjadi cantik seperti yang kamu inginkan" --


Jumat, 15 Januari 2010

Satu Percakapan dengan Senja

Kali ini ada diam
Di satu pertemuan dengan senja
Entah aku yang enggan berbicara
Atau senja menyimpan kata-kata
Aku dan senja hanya saling menatap mata
Mungkin bicara dengan bahasa jiwa

"Kau menyerah?"
Akhirnya senja bicara
Memainkan rona mukanya
Biru ungu kuning jingga

Aku menggelengkan kepala. Masih enggan berkata-kata.





Senja menatapku penuh tanda tanya
Dia tak lagi memancing bicara
Hanya memandangku dengan rona keemasan
Memelukku dengan cahaya kehangatan

Lama, aku dan senja menikmati sunyi bersama
Sampai senja menghembuskan napasnya
Sekejap langit berganti rupa
Kali ini gerimis menari di udara

"Aku tahu...," bisik gerimis sembari memetik kecapi

Dentingnya pun memainkan harmoni
Dari langit ia menari ke bumi

"You're all i want... You're all i've ever needed. You're all i want, help me know You are near..." *)

Menekuk tubuh, meletakkan kepala
Menikmati rintik air di ujung senja
Ada senyum, di lubuk hati sana


*)mengutip MWS, "Draw Me Close"


17052009

Rabu, 13 Januari 2010

Abaikan Waktu!


Detik berdetak
Jarum jam itu bergerak
Dan aku semakin tersiksa

Sebentar lagi waktunya
Sebentar lagi waktunya akan tiba
Aku belum bisa berpikir apa-apa
Terperangkap dalam keruwetan peristiwa

Ah! Ingin kuteriak
Andai saja bisa aku lari
Hentakkan semua

Abaikan saja waktu!

Jakarta, di kantorku, 14 Mei 2006