Menu

Percik Kata Nieke

Tampilkan postingan dengan label insight. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label insight. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 Januari 2010

Adakah Tuhan di Diskotek?


Adakah Tuhan di diskotek?
Pertanyaan itu meluncur dari bibir seorang kawan. Dia tampaknya terheran-heran mendengar jawabanku, kala dia bertanya dimanakah aku menghabiskan malam tahun baruku. Bahkan saking herannya, dia bertanya sampai tiga kali. Sepertinya dia menganggap aku salah menghabiskan malam tahun baruku.

Kawan : Kamu malam tahun baru di mana.
Aku : Ibadah.
Kawan : Iya, maksud aku pas malam tahun baru kamu ngapain? Masa ibadah?
Aku : Iya memang ibadah.
Kawan : Jadi pas malam tahun baru kamu ibadah?
Aku : Iya, aku ibadah.
Kawan : Tahun lalu kamu tahun baru ngapain?
Aku : Ibadah.
Kawan : Kalau begitu, tahun depan kamu harus mencoba yang berbeda.
Aku : Tahun depan aku akan melakukan hal yang sama, kalau tidak ada aral melintang.
Kawan : Membosankan. Malam tahun baru ibadah? Kenapa tidak diskotek? Tuhan juga ada di diskotek.

Well, Tuhan ada di mana-mana. Tuhan pun ada di diskotek. Masalahnya adalah hatimu. Mencari Dia atau tidak. Kerinduan hati Tuhan adalah menarik anak-anaknya mendekat padaNya. Maka dia dimana-mana.

Pertemuan pertamaku dengan Tuhan pun tak terjadi di tempat ibadah. Atau sewaktu aku ibadah. Pertemuan pertamaku justru terjadi saat aku melarikan diri dariNya. Dia memanggilku dengan lembut, hangat dan istimewa.

Umur 15 tahun itu pertama kali aku mengenal diskotek. Tahun berikutnya dengan beberapa saudara menghabiskan malam tahun baru di sana. Tapi aku tidak menemukan apa-apa. Lalu mencoba menghabiskan malam tahun baru dengan keliling kota, nonton kembang api, nongkrong... Tahun demi tahun kulewati dengan hampa. Dan sekarang, disuruh menjadikan diskotek sebagai tempat bermalam tahun baru? No, thanks.

Sejak pertemuanku denganNya. Tepatnya sejak Dia menangkapku dengan kasihNya yang sempurna, tak ada hal lain yang menyenangkan selain Dia.

Beberapa orang mungkin memilih menghabiskan malam tahun baru dengan keluarganya. Tidak ada yang salah. Tuhan pun di sana.

Orang lain mungkin memilih melakukan perjalanan ke luar kota dengan teman-temannya. "Aku ingin menghabiskan malam tahun baru dengan merenung saja," katanya.

Dan kawan lain menganggap tak ada yang istimewa dari malam pergantian tahun. "Itu hanya produk kapitalisme untuk menawarkan produk-produknya. Coba lihat, kafe, hotel, konser, kalender laku keras. Tapi sebenarnya cuma berganti hari dan angka," katanya.

Aku cuma tidak mau hidup yang cuma "hidup dari hari ke hari". Hmm... kalau demikian, betapa membosankannya hidup. Menyaksikan hal yang sama. Melakukan hal yang sama. Hidup menjadi rutinitas.

Aku cuma tak mau melewatkan malam pergantian tahun dengan hal sia-sia. OK, kalau mau pakai istilah kapitalisme. Ibarat dagang, berarti aku harus melewati malam tahun baruku dengan bernilai, dong. Jadi aku harus diuntungkan.

Kalau begitu, pertanyaan berikutnya adalah, apakah aku diuntungkan memutuskan malam tahun baruku dengan ibadah? Jawabanku adalah ya.

Semua orang tengah panik dengan krisis ekonomi global. Hampir semua pengamat ekonomi, pelaku pasar, pengusaha, pengekspor yang pernah aku wawancara, mengatakan tahun 2009 adalah tahun yang kelam. Tahun suram dimana dampak krisis yang bermula dari kasus kredit macet perumahan Amerika Serikat itu akan mulai menjalar ke belahan dunia, termasuk Indonesia. Kejatuhan bursa saham di 2008 menjadi pembuka. Disusul order ekspor yang berguguran dan harga komoditas unggulan yang anjlok. Perusahaan dan pabrik kolaps. Kemudian, gelombang PHK sudah mulai terjadi di mana-mana.

Indonesia ibarat kapal yang tengah dipermainkan gelombang samudera dan badai. Kita berada dalam kapal itu.

Bila keadaan seperti itu, apa yang kamu cari? Pegangan kan? Mengirim sandi morse, tanda SOS. Mencari pertolongan. Memanggil Tim SAR.

Yup! That's it. Kamu sudah menjawabnya dengan tepat. Saya tidak mungkin menemukan "pegangan" itu di diskotek. (Ditambah saya juga merasa tidak menemukan jawaban di sana).

Yang saya lakukan di malam pergantian tahun baru, saya mengirim "SOS" dan "sandi morse". Saya ingin mencari Dia. Saya ingin mendengar suaraNya. Saya mau berpegang erat padaNya.

Biarpun saya hanya sempat tidur satu setengah jam karena jam enam pagi hari pertama tahun baru saya sudah harus kembali bekerja. Tapi saya tahu, saya siap menghadapi tahun ini. Saya tak peduli orang bilang krisis. Saya tahu, Dia bersama saya. Saya tidak sendirian. Saya bisa melaluinya. Karena Dia bilang, "Ketika kamu jatuh, Aku tidak akan membiarkanmu tergeletak." Dia juga berjanji akan membuat segala pekerjaanku berhasil. Itu hal yang sangat menguntungkan! (dalam bahasa kapitalisme).

Keesokan harinya, aku mendengar kawan itu, menanyakan hal yang sama pada kawan yang lain. Rupanya dia masih penasaran.

Kawan : Kamu malam tahun baru dimana?
Kawan lain : Emang kenapa?
Kawan : Aku sudah tanya dia (menunjukku). Dia malam tahun baru malah ibadah.
Kawan lain : Kayaknya aku nongkrong bersama teman. Emang kamu tahun baru gimana?
Kawan : Ga ngapa-ngapain. Aku bahkan sempat ketiduran.
Kawan lain : Terus.
Kawan : Entahlah. Aku merasa hampa. Kalau kamu gimana?
Kawan lain : Biasa aja.
Kawan : Aku merasa hampa. Hampa. (dia mengulang kalimat itu berulang kali).

Jadi, adakah Tuhan di diskotek? Permasalahannya adalah hatimu. Apakah hati kita haus mencari Dia? Atau hati yang kecewa karena tak ada perubahan dalam hidup?

Hidup adalah pilihan. Kamu bisa memilih memuaskan rasa "hampa"mu, atau memuaskan dahagamu dan menemukan arti sebuah kehidupan.

***
17 Januari 2009

Minggu, 10 Januari 2010

Hujan di Bulan Juli


Kristal lembut itu jatuh,
terserap bumi yang tengah kering kehausan.
Hampir tiba tengah malam saat
jutaan kristal itu melayang begitu saja. Lalu kucium semerbak aroma tanah. Hmm.

Menggulung tubuh dengan selimut. Menikmati keanehan alam.

Hujan di bulan Juli? Bukankah harusnya belahan bumi tempatku tinggal telah memasuki musim kemarau?

Climate change, kata orang. Akibat hujan dihajar habis-habisan, kata situs lingkungan. Global warming, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berorientasi lingkungan bilang.

Apalah itu. Tapi aku menikmati hujan yang mampir di bulan yang harusnya kemarau ini. Maaf kemarau, bukan aku tak menyukaimu. Aku juga memikirkan petani yang kebingungan, bagaimana mengurusi sawah dan menentukan panen kalau musim kini tak bisa diprediksi.

Tapi tarian hujan memang melenakan. Datangnya yang tiba-tiba, di bulan yang tak biasa, menjadi sesuatu yang istimewa.

Sembari meringkuk di atas kasur bergelung selimut, mata hampir terpejam. Tiba-tiba tarian hujan menarikku dengan mesin waktunya.

Semua keindahan, kemurahan dan kebaikanNya berkelebat di pelupuk mata. Mata pun batal terpejam.

Mengingat semua perjalanan hidup, yang tak selalu mulus dan menyenangkan. Ada saat badai itu datang dan membuat bahtera terombang-ambing. Tapi aku--beruntungnya--punya nahkoda andalan. Dia yang selalu membuatku sampai pada tujuan.

Orang-orang datang dan pergi dalam hidup. Tak semuanya membawa tawa dan ketulusan. Ada saat-saat ketika orang yang kamu anggap sahabat baikmu, ternyata mengkhianatimu. Atau orang-orang yang kamu kasihi, ternyata melukaimu. Orang yang kamu pikir bisa diandalkan, tapi mengecewakan. Ada saat ketika kebaikan dan jasamu dilupakan begitu saja.

Tapi ada satu pribadi yang selalu bisa diandalkan, yang tidak pernah mengecewakan. Janjinya seperti emas dan perak. Murni karena teruji dalam peleburan dengan bara api.

Dia membawa hidupku ke dalam suatu petualangan mendebarkan. Dan aku menikmatinya.

Dia menghadirkan orang-orang dalam perjalanan hidupku, yang layak disebut sahabat. Dia menggantikan kecewa dengan sukacita.

Badai itu tidak hilang, memang. Tapi kini aku punya dia, yang berjanji akan berada di sampingku, dan dia selalu menepatinya.

Dia berjanji, tidak akan membuatku jatuh tergeletak. Dia menepatinya.

Dia berjanji, akan menjadi kekuatan saat aku lemah. Dia juga membalut luka-luka di hati.

Sekalipun aku melalui lembah yang kelam dan berbahaya, aku tidak takut. Karena dia berdiri di depanku.

Aku tahu, dia menggenggam tanganku. Dia tidak pernah melepaskan tangannya, sampai aku menemukan daratan dengan sebingkai pelangi yang menjadi atapnya, dan langit biru menjadi kanvasnya.

Sampai aku melompat-lompat kegirangan, dan melempar tawa padanya, "Yah, aku bisa melaluinya!"

Lalu dia memelukku dengan hangat. Menepuk-nepuk bahuku. "Tuh kan, kamu bisa," bisiknya lembut.

Dia mampu memberi kesejukan dan kehangatan di tengah padang gersang.

Melebihi indahnya melodi hujan di bulan Juli...

***

"Kebaikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumahNya sepanjang masa"