Menu

Percik Kata Nieke

Senin, 11 Januari 2010

Antara Aku, Kamu dan Dia


"aku dan kamu"

Saat itu hujan turun dengan derasnya. Dan kamu masih juga menungguku. Tiga puluh menit lalu, kukirim pesan pendek padamu. "Aku akan telat, entah sampai kapan, laporanku menumpuk."

Tapi kamu membalas, "aku masih menunggu. tidak apa. aku memahamimu."

Aku tiba di kafe itu tiga jam kemudian. Hujan masih turun dengan derasnya. Ini bukan pertama aku membuatmu menunggu. Dan kamu tak pernah bosan.

Kamu berdiri di sudut depan kafe sambil menggenggam payung. Rambut, wajah dan pakaianmu basah kuyup. Tapi kamu tersenyum memandangku. Senyum yang menusuk hatiku. Ah, betapa, aku tidak pernah sanggup memandang wajahmu yang saat ini seperti malaikat di hadapanku.

Entah telah berapa kali kuucapkan, "Aku tidak akan pernah bisa mencintaimu."

Tapi kamu masih menunggu. Airmataku menitik, larut bersama air hujan. Kamu berlari menyongsong, memayungi tubuhku tanpa mempedulikan tubuhmu. Melindungiku dari percikan air langit.

Aku semakin tersedu. Kamu bertanya mengapa. Aku cuma terdiam. Kamu menyeka airmataku. Mengajakku minum secangkir susu coklat untuk menghangatkan badan. Meminjamkanku sweater supaya tidak kedinginan. Mengajakku nonton film komedi supaya aku tertawa.

Tapi aku tetap tersedu. Kamu menyakitiku dengan cintamu….

*

"aku dan dia"

Hari itu kuputuskan mengakhirinya. Tak kuangkat teleponnya. Tak kubalas pesan pendeknya. Kucoba menahan segenap perasaan yang memberontak pada logikaku. Antara logika dan perasaan beradu.

"Kamu mencintainya," kata perasaan.
"Aku lelah," kata logika.
"Dia menyayangimu," sanggah perasaan.
Logika tak mau kalah," Kalau dia menyayangiku, kenapa dia memperlakukanku seperti bola yang ditendang, kemudian diambil untuk ditendang lagi? Aku muak! Aku lelah!"
"Cinta itu murah hati, cinta itu sabar, cinta itu lemah lembut, cinta itu…"
Belum selesai perasaan mengkotbahiku, logika cepat memotong, "Cinta itu taik kucing."
"Dulu tak seperti ini. Awalnya tak seperti ini. Harusnya tak berjalan seperti ini," kata perasaan.
"Aku pikir juga seperti itu. Harusnya begitu. Aku banyak mengalah. Aku patahkan kesombonganku, aku tak lagi bicara gengsi, aku bicara jujur dengan hatiku," sambung logika.

Sebuah pesan pendek kembali masuk. "Kamu dimana?"

Dia selalu menuntutku untuk membalas. Dia selalu mencariku saat membutuhkan. Dia selalu meminta perhatian. Setelah itu dia menghilang.

Akhirnya, kutinggalkan sebuah pesan. "Aku punya hati yang menyayangimu. Tapi aku tak tahu, apa ini berarti untukmu."

Dalam gerimis yang menggiris, aku pun menangis.
*

"aku"

Subuh, telepon selulerku telah berdering. Kesalahan terbesarku adalah mengangkatnya. Sahabatku berkotbah saat aku masih terkantuk-kantuk.

"Kamu menyia-nyiakan sesuatu yang berarti," katanya.

"Hmm?"

Dia masih ngomel-ngomel panjang lebar. Aku tersenyum-senyum mendengarnya, biarpun otak masih belum sepenuhnya jalan.

"Kan aku udah bilang, itu konsekuensinya. Tau sendiri kan pekerjaanku. Itu sebabnya jurnalis cewek susah cari jodoh, nggak bakal ada yang betah," kataku sambil terbahak.

"Sadar nggak, dia tiga jam nunggu, dan itu bukan pertama kali kan dia menunggu kamu. Apa itu nggak cukup? Apa kamu nggak ingin membahagiakan ortu?"

"Lebih bahagia mana, aku bersama dengan orang yang aku inginkan, atau yang mereka inginkan? Kamu memilih mana?"

Sahabatku tak bisa menjawab. Aku pun melanjutkan,"Terima kasih atas perhatianmu. Terima kasih kamu peduli padaku. Aku tau, kamu pikir aku akan lebih baik bersama "malaikat" itu."

Aku sengaja menguap panjang. "Nanti aja kotbah lagi, aku mau tidur lagi. Ok? Kita ketemu di tempat biasa, jam biasa, kamu boleh kotbah apaaa aja," kataku sambil tertawa.

Sahabatku tertawa. "Awas kamu, iya deh, aku mau siapin materi kotbah buat kamu."

"Bye. Makasih."

"Dah." Klik.

Kugeletakkan telepon seluler di sebelah bantal. Entah kenapa aku tak lagi mengantuk. Sekejap bayangan kejadian sehari sebelumnya berkelebat dalam benakku. Ah…

Telepon kembali berbunyi. Kupikir sahabatku. Rupanya seorang redaktur mengirimkan sebuah pesan. "Siap dikirim ke Sumatera?"

Sumatera, hmmm… kubaca isi pesan berikutnya. Taman Nasional, tempat terpencil. Blank spot. Tempat terbaik untuk ‘menghilang’ sesaat, pikirku.

Kuraih telepon selulerku. Klik menu, phone book, membaca deretan nama di sana. Kuhapus dua nama di sana.

Aku tak mau kamu dan dia.

Setelah itu, entah kenapa, aku merasa begitu bebas.
***

9 Agustus 2006

Minggu, 10 Januari 2010

Tarian Samudera



Tirai langit menghantarkan senja
Kelam malam memeluk pantai Jawa
Angin dan ombak menarikan dansa
Dengan gemuruh rindu mencumbu bumi raya

27122009

Hujan di Bulan Juli


Kristal lembut itu jatuh,
terserap bumi yang tengah kering kehausan.
Hampir tiba tengah malam saat
jutaan kristal itu melayang begitu saja. Lalu kucium semerbak aroma tanah. Hmm.

Menggulung tubuh dengan selimut. Menikmati keanehan alam.

Hujan di bulan Juli? Bukankah harusnya belahan bumi tempatku tinggal telah memasuki musim kemarau?

Climate change, kata orang. Akibat hujan dihajar habis-habisan, kata situs lingkungan. Global warming, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berorientasi lingkungan bilang.

Apalah itu. Tapi aku menikmati hujan yang mampir di bulan yang harusnya kemarau ini. Maaf kemarau, bukan aku tak menyukaimu. Aku juga memikirkan petani yang kebingungan, bagaimana mengurusi sawah dan menentukan panen kalau musim kini tak bisa diprediksi.

Tapi tarian hujan memang melenakan. Datangnya yang tiba-tiba, di bulan yang tak biasa, menjadi sesuatu yang istimewa.

Sembari meringkuk di atas kasur bergelung selimut, mata hampir terpejam. Tiba-tiba tarian hujan menarikku dengan mesin waktunya.

Semua keindahan, kemurahan dan kebaikanNya berkelebat di pelupuk mata. Mata pun batal terpejam.

Mengingat semua perjalanan hidup, yang tak selalu mulus dan menyenangkan. Ada saat badai itu datang dan membuat bahtera terombang-ambing. Tapi aku--beruntungnya--punya nahkoda andalan. Dia yang selalu membuatku sampai pada tujuan.

Orang-orang datang dan pergi dalam hidup. Tak semuanya membawa tawa dan ketulusan. Ada saat-saat ketika orang yang kamu anggap sahabat baikmu, ternyata mengkhianatimu. Atau orang-orang yang kamu kasihi, ternyata melukaimu. Orang yang kamu pikir bisa diandalkan, tapi mengecewakan. Ada saat ketika kebaikan dan jasamu dilupakan begitu saja.

Tapi ada satu pribadi yang selalu bisa diandalkan, yang tidak pernah mengecewakan. Janjinya seperti emas dan perak. Murni karena teruji dalam peleburan dengan bara api.

Dia membawa hidupku ke dalam suatu petualangan mendebarkan. Dan aku menikmatinya.

Dia menghadirkan orang-orang dalam perjalanan hidupku, yang layak disebut sahabat. Dia menggantikan kecewa dengan sukacita.

Badai itu tidak hilang, memang. Tapi kini aku punya dia, yang berjanji akan berada di sampingku, dan dia selalu menepatinya.

Dia berjanji, tidak akan membuatku jatuh tergeletak. Dia menepatinya.

Dia berjanji, akan menjadi kekuatan saat aku lemah. Dia juga membalut luka-luka di hati.

Sekalipun aku melalui lembah yang kelam dan berbahaya, aku tidak takut. Karena dia berdiri di depanku.

Aku tahu, dia menggenggam tanganku. Dia tidak pernah melepaskan tangannya, sampai aku menemukan daratan dengan sebingkai pelangi yang menjadi atapnya, dan langit biru menjadi kanvasnya.

Sampai aku melompat-lompat kegirangan, dan melempar tawa padanya, "Yah, aku bisa melaluinya!"

Lalu dia memelukku dengan hangat. Menepuk-nepuk bahuku. "Tuh kan, kamu bisa," bisiknya lembut.

Dia mampu memberi kesejukan dan kehangatan di tengah padang gersang.

Melebihi indahnya melodi hujan di bulan Juli...

***

"Kebaikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumahNya sepanjang masa"