Menu

Percik Kata Nieke

Jumat, 14 Oktober 2022

Jogja, Bagiku adalah 'Rumah' Kedua

Sekadar cerita tentang Jogja, yang bagiku sudah menjadi rumah kedua.



Jogja kerap disebut kota romantika. Kota kenangan. Tak hanya bagiku, mungkin tak sedikit yang menganggapnya rumah kedua. 


2015

"Mbak, aku liburan ke Jakarta. Jemput di bandara ya, entar aku kirim tiket penerbanganku," kata adikku, sepekan sebelum ia hendak ke Jakarta. Kota tempat aku mengadu nasib, merantau.

Beberapa menit kemudian, adikku kembali mengirim pesan di ponsel. Ia mengabarkan telah mengirim email tiket berangkat-pulang Jakarta-Surabaya. Aku membuka email lewat ponsel, menemukan surat elektronik adikku. Plup! 

Aku segera memeriksa nama maskapai, jam penerbangan, dan keterangan terminal bandara. Aku memutuskan mengambil cuti pada hari ia datang agar dapat menjemput ke bandara dan mengajaknya keliling Ibu Kota.

Hari yang dinanti tiba. Aku menjemputnya, kami menaruh kopernya di kosku. Lalu kami jalan ke mal di kawasan Senayan. Adikku mengajak mampir di sebuah supermarket khusus barang elektronik. Kami melihat-lihat kulkas dan mesin cuci.

"Mbak, beliin Mama mesin cuci, yuk," katanya.

Ingatanku melayang pada mesin cuci di rumah yang usianya sudah lebih dari sepuluh tahun. Adikku mengajak patungan alias berbagi membayar mesin cucinya. Aku mengangguk setuju. Kami berkeliling untuk survei tipe-tipe mesin cuci dan harga yang sesuai.

Usai berkeliling, kami memutuskan duduk di sebuah kafe. "Mbak, bagaimana kalau kita rencanakan liburan bareng?"

"Mau ke mana? Kita liburan sama Mama-Papa, yuk," kataku. Kami berencana liburan berempat karena kakak sudah berkeluarga. Aku dan adikku belum menikah.

"Singapura? Kan enggak pakai visa. Cari tiket promo," ujar adikku.

"Hmm, kita hitung dulu aja berapa bajetnya. Aku nabung dulu ya," ucapku.

"Iyalah, aku juga nabung, kok. Nabung dari sekarang, berangkat tahun, gimana?"

"Yuk!" Aku senang dengan usulannya.

"Tahun depannya, kita ke Korea yuk berdua," ucap adikku lagi. Dia memang penggemar K-Pop dan drama Korea. Bahkan, dia duluan yang jadi fans sebelum akhirnya menular ke aku. 

"Hayuuuk," aku merespon makin antusias. 

Kami membuat rencana-rencana bersama, termasuk membuat hitungan dana, berapa uang yang disisihkan dari penghasilan untuk bajet liburan bersama. Impianku dan adikku sama, ingin membuat orangtua bahagia. 

Selama di Jakarta, aku mengajak adikku main ke Kota Tua. Kami menuju ke sana dengan transportasi umum seperti KRL dan busway. Adikku memang ingin menjajal kedua jenis transportasi umum ini. Di Surabaya enggak ada, sih. Berkunjung ke Museum Bank Indonesia, Museum Boneka, bersepeda di alun-alun depan Museum Fatahilah, lalu makan siang di Restoran Batavia. Liburan adalah menciptakan memori tentang momen bersama yang bahagia.

Sebulan setelah itu, aku menerima pesan dari Ibuku. Adikku jatuh sakit. Beberapa tahun lalu, adikku pernah operasi pengangkatan tumor usus. Kini gejala itu kembali. Tentu saja aku terkejut karena adikku sangat menjaga gaya hidup dan kesehatannya. Kok bisa terulang kembali?

"Niek, doain adikmu ya," Ibuku berpesan lewat ponsel.

Pikiranku mengelana. Aku berusaha berpikir positif bahwa semua akan baik-baik saja. Namun realita berkata lain. Setelah sejumlah pemeriksaan dan konsultasi dokter, adikku mesti menjalani kemoterapi. Uang tabungan yang rencananya untuk liburan dan tabungan lainnya kurelakan buat biaya perawatan adik dengan segala tetek bengeknya.

Tubuh adikku semakin kurus karena kemoterapi membuatnya mual dan tak nafsu makan. Pada pengujung Oktober 2015, aku harus menerima kenyataan bahwa adikku berpulang menghadap Yang Maha Kuasa. 

Belum habis duka keluargaku, Bapakku menyusul berpulang di pengujung tahun 2015. Malam tahun baruku kulewati di rumah duka menunggui jenazah sambil menatap langit kota yang bertabur kembang api. Esoknya, saat orang-orang menikmati perayaan hari pertama 2016, aku memakamkan Bapak.

Dalam setahun kehilangan dua orang terkasih, membuatku berpikir ulang tentang rencana-rencana hidupku.

*

Jogja, Rumah Kedua




Bagiku dan keluargaku, Yogyakarta itu sudah seperti rumah kedua. Pertama, Jogja adalah rumah Eyang putri, aku memanggilnya Eyang Ti. Dalam setahun, sedikitnya dua kali aku dan Ibuku ke Jogja buat mengunjungi Eyang Ti. Namun Eyang Ti sudah wafat beberapa tahun lalu, sesudah adik dan Bapakku. Meski demikian, aku dan Ibu masih kerap pulang ke Jogja.

Kedua, Jogja adalah tempatku menimba ilmu di bangku universitas. Sekitar empat tahun aku tinggal di sana untuk kuliah. Banyak kenangan yang tertambat di sana. 



Setahun sebelum pandemi, 2019, teman-teman seangkatan almamater universitas mengajak reuni di kota kampusku berada. Rencana yang mendadak, memanfaatkan libur panjang hari raya Idul Fitri. Mumpung teman-teman seangkatan ini mendapat jatah libur kantor dan sedang mudik ke Jogja.

"Yuk, sekalian bagi-bagi kaos angkatan yang sudah jadi, nih," kata temanku di grup aplikasi perpesanan Whatsapp.

"Kalau ada tiket murah, aku balik. Kalau enggak, ya maaf ya gaes. Skip," tuturku. 

Huff, tahu sendiri kan, kalau hari raya itu semua harga tiket transportasi umum dan penginapan melonjak. Apalagi kalau tak pesan jauh-jauh hari alias beberapa bulan sebelumnya. Memesan tiket hari ini untuk berangkat besok itu antara ada tiket tapi harga mahal atau tidak ada tiket yang tersedia.

Aku membuka aplikasi pemesanan tiket, mencari tiket kereta. Aku menyetel pilihan kereta dengan keberangkatan dari Surabaya menuju Stasiun Tugu Yogyakarta. Plup, muncul beberapa opsi kereta dengan rute yang kucari. 

Nah, kan. Nah, kan. Harganya melejit kayak ulat daun. Aku mengincar Sancaka, tapi tanggal yang kuinginkan sudah tak tersedia. Padahal PT KAI sudah menyediakan kereta tambahan kala itu. Harga tiket kereta lain dengan rute sama sudah membumbung tinggi.

Entah kenapa, aku iseng membuka lagi aplikasi. Refresh. Menyetel kembali pilihanku semula: kereta rute Surabaya-Yogyakarta. Jreeng, mendadak mataku menangkap satu tiket Sancaka dengan harga yang terjangkau. Langsung sat-set-sat-set aku memesannya. Aku sekalian memesan tiket balik ke Surabaya, sehari setelah tanggal acara reuni. 

Yes! Aku berhasil!

Sekarang mencari penginapan. Bisa saja sih, menginap di rumah almarhum Eyang Ti, tapi aku sedang ingin suasana baru. Hotel dan penginapan pasti lagi mahal-mahalnya. Mumpung solo traveling begini, akupun menjajal menginap di hotel semacam dormitory The Packer Lodge, yang letaknya dekat sekali dengan Jalan Malioboro. Tinggal ngesot. 

Aku buka Google Map, letak The Packer Lodge juga tak jauh dari Stasiun Tugu Jogja. Jadi nanti saat Sancaka tiba sekitar pukul 11 malam, aku naik ojek daring alias ojek online juga tak terlalu jauh. Mau sarapan pagi, depan hotel banyak warung-warung makan termasuk Gudheg Yu Djum yang legendaris itu.

Aku buru-buru memesan di The Packer Lodge setelah melihat foto-fotonya di aplikasi perpesanan tiket. Sekamar isi bednya empat berjajar tingkat. Ada korden sehingga privacy terjamin meski sekamar dengan orang asing. Selain memiliki pendingin ruangan, lokernya berada di kamar menggunakan kartu chip, lebih aman.  

Usai menyelesaikan pesanan di aplikasi, aku menelpon ke The Packer Lodge memastikan pesanan aman. Aku juga memberitahu resepsionis bahwa keretaku tiba pukul 11 malam. Syukurlah resepsionis mereka ternyata 24 jam.

Aku menulis pengalamanku menginap di The Packer Lodge di blog ini. Baca: Hotel The Packer Lodge: Dekat Malioboro dan Nyaman Buat Backpacker

Kamu juga bisa menonton videonya di sini:


Absen Pulang ke Jogja Sejak Pandemi


Pandemi benar-benar mengerem segalanya. Aku dan Ibu yang biasanya ke Jogja minimal dua kali dalam setahun, sama sekali tak menginjakkan kaki ke kota Gudheg selama dua tahun. Pertama, awal pandemi ada imbauan bagi lansia untuk tidak terlalu banyak bepergian.

Kedua, saya benar-benar ingin menjaga Ibu yang lansia dari si kopit yang masih merajalela. Walau kami berdua telah menerima dua kali vaksin plus sekali booster alias vaksin ketiga. Ibu juga masih was-was apakah situasi telah benar-benar memungkinkan untuk bepergian.

Hingga suatu hari, Ibu melihat beberapa foto dari kerabat kami yang berlibur ke Bali. "Sudah lama ya, kita enggak liburan," ucap Ibu.

"Jangankan liburan, kita juga enggak pulang Jogja dua tahunan," sahutku. 

Makam Eyang Ti (nenek) dan Eyang Kakung (kakek) di Jogja. Biasanya kami ziarah makam. 

"Di Jogja itu ada pertunjukan tari ya di Prambanan?" tanya Ibu.

"Udah lama ada itu. Cuma kita belum pernah menonton. Waktu itu cuma ke Prambanan aja. Kenapa, kepengin nontonkah?" aku bertanya balik.

"Kayaknya bagus ya," gumam Ibu.

Diam-diam aku membuka mbah Google dan aplikasi perpesanan tiket. Cek harga tiket. Oh ternyata bisa beli tiket pertunjukan tari di Prambanan dengan aplikasi. Harganya sekitar Rp 150 ribu. Dari dulu aku juga ingin nonton pertunjukan ini.

Tiap ke Jogja judulnya memang pulang bagi aku dan Ibu. Soalnya kalau di Jogja, kami benar-benar bersantai. Jalan-jalan ke Malioboro di weekdays alias antara Senin-Jumat menghindari keramaian. Tak ketinggalan makan di resto Hamzah Batik (dulu bernama Mirota) di pengujung jalan Malioboro. Restonya terletak di rooftop. Pada hari tertentu ada pertunjukan tari juga di sana, aku dan Ibu pernah menontonnya.

Selain pertunjukan Ramayana di Prambanan, Ibu juga pasti suka kalau kami mengunjungi Keraton Yogya. Dulu sewaktu Eyang Kakung (kakek) masih hidup, kami pernah masuk. Eyang Kakung suka mengenalkan cucu-cucunya dengan sejarah, budaya, dan tempat bersejarah seperti museum. Kesamaan Eyang Kakung dan Ibu adalah mereka menyimpan gantungan kunci berlambang Keraton Yogyakarta.

Masih di dalam Kompleks Keraton, ada sebuah restoran yang menyediakan masakan-masakan dengan resep Keraton. Ibuku tipe yang menyukai masakan Indonesia, apalagi bumbu-bumbu asli. Hmm, cocok sekali. Wajib kemari.

Liburan bersama Ibu memang mesti menyesuaikan ritme. Kalau solo traveling atau bepergian dengan teman, aku biasanya memilih tempat-tempat dengan nuansa alam. Kadang butuh jalan kaki untuk menuju ke spot tertentu. Hal-hal seperti ini tentu tak bisa dilakukan bila bersama Ibu. Kasihan. Aku mesti mencari tempat yang nyaman, bisa dijangkau, bisa bersantai.

Dari laman media sosial milik temanku, aku baru tahu ada Heha Sky Ocean yang berlokasi di pinggir pantai dengan pemandangan menakjubkan. Namun membaca 'usaha' untuk menuju lokasi restonya, sepertinya tak memungkinkan bagi Ibuku. Setidaknya, aku dan Ibu sudah pernah singgah ke Heha Sky View yang berada di atas bukit dengan pemandangan langit bertabur bintang.




Dari media sosial teman-temanku, aku mengetahui kalau selama pandemi, Jogja bertumbuh pesat dengan tempat wisatanya. Syukurlah, pariwsata domestik mulai pulih dan bangkit di masa pandemi. Mungkin ini juga pertanda bahwa aku dan Ibu mesti memang harus mewujudkan keinginan pulang dan liburan ke Jogja. Mudah-mudahan, kami bisa segera mewujudkan rencana mudik kami.


Salam hangat,

Kata Nieke

 

1 komentar:

  1. Mbak Niek, ikut berbela sungkawa atas meninggalnya 2 orang terkasih di tahun yang sama ya, Mbak. Yakin ya, Mbak skenario Tuhan tak akan pernah salah sedikitpun.

    Anyway, Jogja Istimewa itu deket dengan kampung halamanku lo, Mbak. Terakhir mudik kemarin. Mungkin tahun depan gak bakal mudik lagi sepertinya, huhuhu

    BalasHapus

Hi... terima kasih sudah mampir dan membaca blog saya. Mohon berkomentar dengan sopan, tidak meninggalkan spam, tidak menggunakan LINK HIDUP di kolom komen. Sebelum berkomentar, mohon cek, apakah Anda sudah memiliki profil di akun Anda. Profil tanpa nama atau unknown profil tidak akan diterima berkomentar. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sebaiknya tidak gunakan akun anonim.

Salam.