Isu lingkungan kerap diabaikan demi kepentingan ekonomi. Padahal, perubahan iklim bisa mempengaruhi perekonomian.
Ilustrasi perubahan iklim. Foto: Nieke |
Seberapa besar masalah lingkungan--seperti perubahan iklim--dapat mempengaruhi ekonomi manusia?
Uang Rp 100 ribu di masa sekarang, seperti tidak ada nilainya. Bisa habis dalam sekejap mata. Bisa belanja apa dengan Rp 100 ribu, apalagi jika tinggal di kota besar, seperti di Surabaya? Jika untuk belanja sayur dan kebutuhan makanan, bisa untuk beberapa hari hingga sepekan. Itupun dengan menu lauk pauk yang sederhana. Nasi, sayur atau lalapan, tahu atau tempe.
Bandingkan dengan satu atau dua dekade lalu. Uang Rp 100 ribu bisa untuk bertahan sebulan. Hah? Satu bulan? Iya. Sekitar 1998, saya bisa bertahan hidup dengan sekitar Rp 100 ribu untuk biaya makan sebulan kala berkuliah di kota Jogja. Hitungan itu hanya untuk saya seorang.
Bagaimana dengan keluarga? Tentu nilai Rp 100 ribu itu bakal berbeda. Bisa jadi uang senilai itu hanya bertahan dua atau tiga hari saja.
Beberapa hari lalu saya belanja ke tukang sayur langganan di kompleks rumah. Beberapa bulan lalu, beli telur ayam kampung Rp 18-20 ribu sudah dapat 10 butir. Harganya kini menjadi Rp 24 ribu. Belum lagi harga sembako lainnya.
Harga di pasar dekat rumah tak jauh berbeda. Ibu saya belanja empon-empon (bumbu rempah seperti kunyit, kencur, temulawak, temuireng, lengkuas, temu putih, jahe) di pasar. "Dulu Rp 3 ribu isinya sudah banyak macamnya. Sekarang harga segitu isinya sedikit," tutur Ibu saya.
Jangan tanya harga cabai. Menjelang puasa dan mendekati Lebaran biasanya harganya meroket. Harga cabai juga tergantung musim pancaroba, hujan atau kemarau panjang yang mengganggu musim panen. Kalau soal gangguan cuaca esktrem, berlaku untuk komoditas pertanian dan perkebunan juga sih.
Omong-omong soal perkebunan, saya teringat seorang teman kuliah yang tinggal satu rumah kos dengan saya. Sebut saja Tasia. Orangtuanya bertani, berkebun sayur dan buah-buahan di sebuah kota kecil di Sumatera. Suatu waktu, Tasia kebingungan tak bisa membayar biaya kos, kuliah semester, dan biaya hidup. Pasalnya, kiriman dana dari orangtuanya mendadak tersendat.
Berawal dari kiriman uang bulanan yang terlambat. Awalnya, dari yang biasanya dikirim awal bulan, menjadi pertengahan bulan. Kemudian mundur jadi akhir bulan. Saya dan beberapa teman kos lain berinisiatif membantu dengan patungan membantu membayarkan biaya kos. Untuk biaya makan, saya dan teman-teman masak bersama agar kami bisa membaginya ke Tasia.
Urusan kiriman uang bulanan yang tersendat ini makin parah hingga satu waktu, Tasia menangis karena orangtuanya tak kunjung mengirim uang semester. Ternyata penyebabnya adalah bisnis orangtuanya yang tidak lancar. Cuaca ekstrem mengganggu panen sayuran dan buah di kebun mereka. Otomatis, pendapatan keluarga terganggu.
Tasia sempat cuti kuliah selama satu semester. Selama cuti itu, ia mencari pekerjaan agar dapat membayar biaya kuliah. Begitu dana terkumpul, Tasia memakainya untuk kuliah semester depannya. Ia tetap lanjut bekerja di samping kuliah, demi biaya kuliahnya. Tasia juga pindah kamar kos yang ukurannya lebih kecil agar berhemat.
Lantas, apa hubungannya cerita Tasia dengan inflasi atau kenaikan harga beberapa komoditas, termasuk cabai? Begini. Dari cerita Tasia, kita jadi tahu bahwa cuaca ekstrem tak hanya menyebabkan harga komoditas menjadi lebih mahal di tangan konsumen atau pembeli. Tapi juga berdampak pada ekonomi dan kesejahteraan petani beserta keluarganya. Harga di konsumen menjadi mahal sebab barang yang tersedia sedikit, sementara permintaan banyak. Ini sesuai hukum ekonomi pasar.
Dari cerita Tasia, kita juga makin paham. Isu lingkungan adalah isu kita semua. Bukan hanya segelintir orang, aktivis lingkungan, atau korban bencana alam. Salah satu penyebab inflasi dan resesi ekonomi itu bagian dari dampak perlakuan manusia terhadap lingkungan, walau secara tak langsung.
Resesi yang diprediksi tahun 2023, salah satu penyebabnya adalah perubahan iklim, gelombang panas dan kebakaran hutan, cuaca ekstrem, kenaikan permukaan air laut, dan banjir. Semua hal ini dapat menyebabkan kekeringan dan krisis pangan. Perubahan cuaca menyebabkan tekanan inflasi terjadi secara bertahap lantaran rantai pasokan nasional dan internasional terganggu.
Sejak 2018, Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovermental Panel on Climate Change/IPCC) sudah pernah memperingatkan soal perubahan iklim dan cuaca ekstrem. Lembaga ini mengingatkan bahwa suhu bumi meningkat sebesar 1,5 derajat Celcius. PBB juga pernah memperingatkan potensi kenaikan suhu global sekitar lebih dari 3 derajat Celcius pada akhir abad ini.
"Kita semua menyadari bahwa perubahan iklim atau krisis iklim menjadi ancaman besar bagi kemanusiaan, ekonomi, sistem keuangan, dan cara hidup kita. Laju emisi gas rumah kaca juga terus meningkat secara eksponensial."
Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat menghadiri HSBC Summit 2022 “Powering the Transition to Net Zero, Rabu 14 September 2022, dikutip dari Kontan.
Apa yang bisa kita lakukan?
Infografis dampak perubahan iklim. |
Cuaca ekstrem tak sekadar faktor alam
Sebuah cuaca disebut ekstrem apabila melewati batas ukuran Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Misalnya hujan dengan volume curah yang melebihi 150 mm per hari.
Dengan kata lain, cuaca ekstrem adalah kondisi cuaca tak biasa di sebuah waktu dan tempat. Tak jarang, fenomena cuaca ekstrem berpotensi bencana. Pada masa pancaroba, biasanya BMKG memberi info-info penting agar warga waspada. Misalnya hujan ekstrem, hujan disertai badai, atau ada potensi angin puting beliung.
Pertengahan Oktober 2022 lalu, sebuah permukiman di Sidoarjo terkena angin puting beliung. Atap-atap rumah jebol, papan reklame raksasa ambruk, kaca-kaca bangunan pecah. Tak ada korban jiwa. Angin puting beliung merupakan salah satu bentuk cuaca ekstrem. Contoh lainnya adalah hujan lebat dengan angin kencang, kilat, petir, dan hujan es.
Hujan dengan volume besar dan intensitas waktu yang lama dapat menyebabkan banjir, lingkungan yang kotor, dan munculnya penyakit. Hal-hal yang merugikan manusia, aktivitasnya, dan sektor ekonomi. Apakah cuaca ekstrem melulu faktor alam?
Manusia punya andil. Aktivitas manusia menjadi salah satu penyebab cuaca ekstrem. Apa yang manusia lakukan ke alam, kembali lagi ke manusia. Alam adalah habitat manusia, bagian dari ekosistem, mata rantai kehidupan manusia.
Tak sedikit manusia yang serakah, mengeksplorasi alam sebesar-besarnya demi pundi-pundi, tapi abai merestorasi lingkungannya. Tak sedikit manusia yang dengan ketamakannya merambah hutan lindung, yang masih menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati, satwa dan tumbuhan langka. Padahal keberadaan alam itu juga untuk melindungi dan menjaga manusia, sebagai bagian dari ekosistem.
Bagaimana kita mengkonsumsi bahan bakar, pendingin ruangan, kulkas, mengelola sampah, konsumsi listrik berlebihan. Kegiatan-kegiatan itulah yang menimbulkan polusi dan mengakibatkan pada perubahan iklim.
Apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi perubahan iklim? Kita mesti mengetahui terlebih dulu, poin-poin atau aktivitas apa saja yang jadi biang kerok penyebab perubahan iklim. Dari situlah, lalu kita jabarkan lebih detail, hal-hal yang bisa kita lakukan secara pragmatis.
Infografis penyebab perubahan iklim. |
Untuk memperbaiki bumi, mengatasi perubahan iklim, tak melulu kita menunggu kebijakan pemerintah. Ada beberapa hal yang bisa kita mulai dari diri sendiri, seperti yang pernah saya tulis di sini: Cara Kurangi Sampah dengan Mager di Rumah.
Saya percaya, hal-hal kecil yang kita lakukan dari rumah, di lingkungan sekitar, dapat menolong untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Ketika kita menjaga alam, alam menjaga manusia. Itu bukan sekadar jargon.
Salam hangat,
Kata Nieke
Setuju sekali mba. Bahwa cara mendukung bukan menunggu kebijakan pemerintah tapi mulai dari diri sendiri dan dengan apa yang kita bisa
BalasHapusJadi memang cuaca ekstrim ini ada penyebabnya ya Mbak. Gak tiba-tiba. Terimakasih sudah menyampaikan pesan ini kepada kami semua. Demi bumi yang lebih untuk anak cucu kita.
BalasHapusJadi cuaca ekstrim ini ada penyebabnya ya Mbak. Aku setuju kalau kita harus mulai dari diri/keluarga kita sendiri untuk bumi yang lebih baik.
BalasHapusBetul mbak, ke puncak dan Bandung saja sekarang sudah gak sedingin dulu. Makin ke sini makin banyak juga daerah yang semakin panas. Terlebih peranan pemerintah untuk tidak sembarang kasih ijin bagi perusahaan swasta buka ladang sawit dan menggunduli hutan masih aja ada hingga sekarang.
BalasHapusKita sendiri yang mengelola iklim pada dasarnya kalau hidup sehat maka semua akan terkendali. Semoga kita termasuk ke dalam golongan yang taat aturan hukum alam ya dengan menjaga lingkungan sekitar.
BalasHapusSetuju dengan artikelnya. Contoh sederhana perubahan iklim adalah cuaca ekstrem yang mengakibatkan banjir atau kekeringan. Ketika itu terjadi, maka bahan makanan semakin Sulit diperoleh, logistik terhambat, dan itu menambah biaya
BalasHapusGerakan kayak gni emang harus masif dan berkelanjutan yaa mba, meskipun kecil insyaAllahkalau dikerjakan bareng2 dan terus menerus akan ada efek baik untuk perubahan iklim di bumi kita (Jihan)
BalasHapusCuaca ekstrem dampaknya luas sekali ya. Ternyata ada yang kesulitan kuliah karena bisnis pertanian orang tuanya mengalami kerusakan akibat cuaca ekstrem :( ... benar banget kata Mbak Nieke, bisa memperngaruhi perekonomian. Semoga saja ada jalan keluar secara pelan2 untuk keluar dari permasalahan akibat cuaca ekstrem ini.
BalasHapusTernyata, perubahan iklim ini dampaknya sistemik ya mbak
BalasHapusNggak hanya berbahaya untuk kesehatan manusia, tetapi juga bisa berpengaruh terhadap ekonomi
Yuk bisa yuk kita ikut mengatasi perubahan iklim, dimulai dr yg terkecil saja dl seperti membuang sampah pada tempatnya dan memilih sampah serta menggunakan transportasi umum.
BalasHapusNah itu diaaaa.....selama ini tdk banyak yg berpikir sampai sejauh ini.
BalasHapusTernyata kondisi planet Bumi ini sudah makin bikin khawatir
Harus ada kepedulian dari semua pihak yak
Perubahan iklim memang berdampak buruk pada pertanian. Cuaca yang tak menentu menyebabkan waktu menanam jadi kacau balau. Di lingkungan saya, warga yang berprofesi sebagai petani mengeluhkan situasi ini.
BalasHapusYo ayo semangat untuk melakukan perubahan kecil dari sekarang secara bersama sama. Dengan bersama-sama aksi kecil kita berdampak untuk bumi ini
BalasHapusMulai dari hal-hal kecil dulu memang lebih ampuh untuk lawan perubahan iklim. Misalnya hemat listrik, buang sampah digital, dll.
BalasHapusliat gambar biang kerokmya, berasa aku yang kena tunjuk, ikut andil menjadi biang kerok perubahan musim ini huhu
BalasHapusOpening yang menggugah emak-emak terkait belanja kebutuhan harian nih mba nieke. Hahaha.
BalasHapusKami bersepuluh dirumah untuk sehari-hari pengeluarannya buat belanja rata-rata menyentuh angka 100ribu.
Ini juga diluar biaya minyak dan beras sebagai makanan pokok.
Kedepannya, mandiri dalam penyediaan pangan adalah hal yang harus dimiliki tiap keluarga. Semoga ada kampanye terkait ini
Setuju sekali bahwa saat kita berbuat baik pada alam maka alam pun akan memberikan kebaikannya buat kita. Seimbang.
bener banget nih, mbak. sekarang sayur harganya juga mahal jadi kalau ke pasar itu asli langsung habis uang 100-200 buat beli sayur sama ikan aja
BalasHapusKasihan banget yaa yang melakukan usaha di bidang pertanian. Perubahan iklim yang tak menentu ini bikin petani gagal panen. Mau menanam sesuai musim, tapi kok musimnya makin ga jelas sedang musim apa. Ini aja sudah waktunya hujan ternyata masih jarang-jarang turunnya hujan. Padahal di sebagian wilayah, hujannya sudah bikin banjir.
BalasHapusiya, mbak. di tempatku sekarang harga beras jadi makin mahal karena panennya gagal para petani di sini. huhu
HapusSuka nih sama uraiannya. Realistis, tak melulu memaksakan pada teori keilmuan. Dan emang bener sih, kalau kita tidak mulai dari hal kecil, jangan berharap hal besar segera menyambangi, kan begitu. Ya.. siapa tahu kalau ekosistem menjadi bisa lebih terjaga, uang 100K bisa cukup untuk sebulan lagi, seperti dulu?! :D
BalasHapusDampak cuaca yang tidak menentu ini memang langsung dirasakan oleh kebun mungl kami, biasanya cabe dan pohon cincau bisa tumbuh begitu saja tanpa dirawat. Sekarang pohon itu banyak yang mati karena kepanasan dan kurang air.. andai saja masalah ini bisa diselesaikan bersama.. akan lebih mudah pastinya
BalasHapusDuh.. Kabar-kabar resesi 2023 memang kayak serem banget nggak sih? Kalau ngomongin nilai tukar uang dulu dan sekarang emang beda banget. Jaman masih sekolah di asrama, uang bulanan ku kayaknya cuma 200ribu.itu udah biaya hidup sama uang asrama. Sekarang mah boro-boro. Hehehe
BalasHapusTanpa disadari, sebenarnya salah satu penyebab perubahan iklim adalah kebijakan Atas, yang sebenarnya gak bijak-bijak amat..
BalasHapusPola ini seakan menyebar ke tingkatan bawah, hingga masyarakat biasa, yang terbiasa buang sampah di sungai..
Dulu musim hujan dan musim kemarau bisa diprediksi dengan mudah melalui pelajaran IPA, sekarang pelajaran IPA dulu sudah tidak lagi relevan. Karena bisa sekejap musim kemarau dan sekejap musim hujan
Perubahan iklim efeknya kemana-mana ya mba. Dari cuaca yang tidak menentu, kadang panas kadang hujan padahal belum bulan musimnya. Yang bisa membuat petani gagal panen hingga akhirnya mahasiswa yang turut berjuang untuk kelangsungan hidup pendidikannya. Ngerasaain juga, bawa uang 100k ke pasar hanya dapat belanjaan yang gak banyak. Itupun belinya gak yang sekilo-sekilo tiap item.
BalasHapusBaru tahu ternyata internet salah satu penyumbang emisi gas karbon. Ana langsung cari-cari di Google, dan ternyata memang benar. 3,7% dari emisi rumah kaca global dunia berasal dari perangkat internet..
BalasHapusBener banget uang seratus ribu itu kok cepet banget habisnya. Duh, nggak kebayang deh sekarang aja dampak pandemi kerasa banget sama menurunnya penghasilan, apa kabar resesi 2023? Semoga badai segera berlalu ya, Kak.
BalasHapusSelalu ngeri setiap baca penyebab dan dampak climate change. Suka overthinking sama kehidupan anak cucu kelak. Semoga jika kita sama-sama memperbaiki ini bmi semakin ramah lagi ya dan 2023 semua aman terkendali aamiin
BalasHapusKalau inget masa2 dlu bahan pangan semua serba murah mengsedih kalau skrang karna pegang uang seratus ribu aja sehari dah habis hiks..duit gampang habis cuaca jga gk pasti nanti panas nanti hujan sedini mmgkin kita harus cegah dampak perubahan iklim mulai dari rumah kita sndiri
BalasHapusWajib banget bersiap siap menghadapi resesi ekonomi yang akan terjadi secara global (prediksinya) dan dari sekarang kita wajib mulai menjaga alam sebagai salah satu penyebabnya, semoga semua segera berlalu dan bumi serta ekonomi kembali pulih
BalasHapusInflasi terjadi berarti juga faktornya bisa dari cuaca ekstrem juga ya. Yang biasanya misal beli cabai 2000 dapat banyak, terus jadi gak dapat lagi kudu beli 5000.
BalasHapusJangankan di kota besar mbak. Di kota kecil yang masih banyak kebun dan hasil pertanian seperti daerah saya saja harga pangan naik drastis. Alasannya banyak yg gagal panen Krn perubahan iklim..sedih sih nilai uang terasa semakin tipis
BalasHapustahun 2000-an, uang jajan saya seribu rupiah sehari. saat itu saya sudah sma. bandingkan dengan sekarang ini, anak saya yang masih sd jajannya sehari aja 5rb rupiah
BalasHapusSaya baru tahu loh kulkas dan ac memiliki senyawa klorofluorokarbon yang memiliki dampak negatif terhadap ozon
BalasHapusisu perubahan iklim ini emang ngeri-ngeri sedap ya, ga sekadar perubahan cuaca dan iklimnya aja, tapi merembet kemana-mana termasuk urusan hidup dan ekonomi. Mesti gotong royong bareng-bareng rem penggunaan bahan bakar yang memicu emisi gas rumah kaca dan mulai gaya hidup ramah lingkungan
BalasHapus