Menu

Percik Kata Nieke

Jumat, 22 Januari 2010

Bimbang


[cerpen ini pernah dimuat di Jawa Pos, Senin, 26 Mei 2003. Lalu sedikit direvisi pada Maret 2009]

"I hope you will start to learn English now."
Jogja, 15 Maret 2003

KATYA mengamati tulisan pada bagian dalam di buku tentang posmodernisme itu. Katya menulisnya tempo hari. Belum ada kesempatan untuk memberikannya pada Stefan.


Ketika dia jalan-jalan di Pasar Terban, dia menemukan buku yang menurutnya menarik bagi Stefan. Kecuali satu hal, buku ini berbahasa Inggris, Stefan tak bisa.

Kenapa dia ingin memberikannya pada Stefan? Berulang-ulang mereka bertengkar, putus lalu rujuk lagi untuk kemudian meneruskan pola yang sama. Persoalan yang sama, selain angkuh, Stefan seperti angin. Tiba-tiba datang, bersikap hangat, memberi cokelat kesukaan Katya. Di waktu lain, Stefan menghilang atau membuat janji yang tak bisa dia tepati.

Stefan juga luar biasa sombong, teman-temannya juga mengakuinya. Lebih luar biasa lagi, Katya mencintai pria dengan kesombongan luar biasa itu. Meskipun Stefan sering meremehkannya bila mereka berdiskusi tentang teori-teori sosiologi. Tak satupun pendapat Katya dihargai. Stefan selalu menganggap pendapatnya tak berguna.

Jika Katya sebodoh itu, mengapa para dosen memintanya menjabat sebagai sekretaris kepala program studi sosiologi di kampusnya? Mengapa indeks prestasinya tiap semester selalu nyaris empat?

Katya tak mengerti, mengapa dia terus mencintai Stefan. Yang membuatnya bertahan, harapan bahwa Stefan akan berubah.

Saat inipun status hubungan mereka sedang tak jelas. Terakhir kali, Katya yang memutuskan hubungan. Tapi kedatangan Stefan beberapa minggu lalu ke ruangannya dan membuat hatinya luluh. Stefan tak mengucap kata-kata manis, permintaan maaf atas perlakuan kasar, atau memintanya kembali. Stefan hanya meminta pendapat Katya tentang model rambut karena ia ingin mengubah potongannya.

Beberapa hari kemudian, Stefan meminta Katya menemaninya ke pasar Beringharjo. Dia ingin membeli kain batik untuk adiknya. Tapi setelah itu, lagi-lagi, laki-laki itu menghilang. Stefan sibuk sendiri dengan proyek film pendeknya. Tanpa memberi kabar kepada Katya. Bahkan, Katya mendengar kabar pemutaran film pendek itu dari orang lain.

*
Kamu melukai dirimu sendiri, terus-menerus. Tidakkah kamu lelah dengan ritme hidup seperti ini?

Kata-kata itu terus terngiang di telinga Katya. Untaian kata-kata dari lubuk hatinya yang paling dalam.

Apakah kamu mencintai dirimu sendiri Katya?

Airmatanya mengalir.

Bagaimana kamu bisa mencintai orang lain, jika mencintai dirimu saja kamu tak bisa?

Katya menutup kedua telinganya dengan kedua jemarinya.
*
Malam itu, aula kampusnya dipenuhi hiruk pikuk orang. Pemutaran film Stefan cukup sukses. Penonton memenuhi ruangan dengan tepuk tangan di akhir film. Katya berada di tengah kerumunan itu.

Acara berlanjut ke diskusi film. Katya memutuskan untuk pulang. Ia bangkit dan meninggalkan ruangan. Ketika sampai di pintu keluar, ia melihat bayangan. Stefan sudah berdiri di hadapannya dalam sedetik.

"Mau ke mana?"

"Pulang," jawab Katya singkat, Stefan mengikuti langkahnya di belakang.

"Sama siapa?"

"Sendiri."

"Katya, berhenti dulu."

Katya menurut.

"Aku.. Aku tahu aku brengsek. Aku tak peduli kamu akan memaafkan aku atau tidak," kata Stefan pelan.

"Itu menunjukkan kesombonganmu. Kamu mengatakan kamu tak peduli aku akan memaafkanmu atau tidak. Kamu takut kalah. Kamu takut aku akan mengatakan "tidak". Karena itu kamu tidak memerlukan jawabanku," tutur Katya. Stefan terdiam.

"Aku ingin memberikan ini untukmu." Katya menyodorkan bingkisan berbalut kertas koran. "Aku mau pulang, sudah malam."

Katya kembali melangkah. Tak dipedulikannya langkah kaki yang masih membuntutinya. Suara kertas yang disobek. Katya sudah nyaris mencapai tempat parkir ketika dia mendengar Stefan mengejarnya.

"Katya, tunggu. Aku akan mengantarmu pulang."

"Tidak perlu. Aku bawa sepeda."

"Tinggalkan saja di sini. Aku akan mengantarmu." Stefan mengeluarkan kunci motor dari sakunya.

"Aku bisa pulang sendiri. Aku tidak mau meninggalkan sepedaku di sini."

Stefan tak bisa berkata apa-apa. Katya menarik sepedanya keluar dari jajaran motor.

"Abang, semoga sukses dengan proyek filmmu." Katya mencoba tersenyum meski merasa miris.

Katya mengayuh sepedanya. Baru tiga meter dicapainya, didengarnya Stefan berlari terengah-engah mengejarnya.

"Katya, abang sayang kamu."

Hati Katya yang kering serasa ditetesi embun. Tapi Katya tetap mengayuh perlahan sepedanya. Stefan terus berlari menjejeri laju sepedanya.

"Abang sayang Katya." Kali ini kalimat itu terdengar lirih seperti hendak menangis. "Abang tak bisa kehilanganmu."

Katya terpana. Tak menyangka kalimat seperti itu bisa keluar dari mulut Stefan. Biasanya hanya kalimat makian dan merendahkan yang ia dengar. Segera ia menghentikan sepedanya. Menatap sepasang mata Stefan yang berkaca-kaca.

Saat itu, suara hatinya lamat-lamat berbisik. Bagaimana kamu bisa mencintai orang lain, jika mencintai dirimu saja kamu tak bisa?

Katya tersenyum. Lalu kembali mengayuh sepedanya. Stefan kembali mengejarnya.

"Katya, kamu tak percaya abang ya?"

Katya menghentikan laju sepedanya sekali lagi. Menunggu sampai Stefan berada di hadapannya.

"Abang, aku percaya kata-katamu. Selamat malam." Katya kembali mengayuh. Kali ini lebih cepat. Ditinggalkannya sosok Stefan mematung di tepi jalan. Diam-diam Katya tersentuh. Stefan menanggalkan kesombongannya. Sesuatu yang dicercanya sebagai hal yang cengeng.

Airmatanya mengalir. Bilakah esok hari Stefan akan bersikap sama. Bilakah Stefan tak lagi meremehkan keberadaannya? Bilakah mereka bertengkar, putus, rujuk dan bertengkar lagi? Katya lelah dengan semua itu.

"Kamu lahir di abad yang salah, Bang. Kamu mungkin manusia primitif. Kamu tak bisa berkomunikasi dengan orang lain di abad yang disebut-sebut sebagai era informasi. Ironisnya, kamu belajar bagaimana manusia berkomunikasi! Aku tak menuntutmu untuk menemuiku setiap hari atau meneleponku tiap saat. Aku hanya ingin kamu mengabari kalau tak bisa datang, tidak tiba-tiba menghilang. Aku hanya ingin kita bisa berkomunikasi dengan baik. Itu saja. Aku lelah dengan kesombonganmu. Apakah kau anggap permintaanku berlebihan dan tak memahamimu, Bang?"

Terngiang kalimat yang pernah dia ucapkan saat terakhir kali mereka bertengkar. Begitu mengiris. Katya mempercepat laju sepedanya. Membiarkan suara desir angin semakin kencang di telinganya. Sebelum kalimat-kalimat lain yang menyayat terngiang di telinganya.

Ia mesti menyatukan kepingan dirinya. Belajar mencintai dirinya sendiri dan menikmati kehidupannya dengan utuh.

***

Tulisan saya non-fiksi soal traveling dan kuliner:

Wisata 1 Hari di Jogja: Tempat Selfie Paling Asyik (+Itinerary)

Traveling ke Surabaya: Pengalaman Mendebarkan di Atlantis Land

Ngopi Sambil Bermain dengan Kucing di Cats and Coffee

Traveling ke Jakarta: Cara Menggunakan Kereta Bandara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hi... terima kasih sudah mampir dan membaca blog saya. Mohon berkomentar dengan sopan, tidak meninggalkan spam, tidak menggunakan LINK HIDUP di kolom komen. Sebelum berkomentar, mohon cek, apakah Anda sudah memiliki profil di akun Anda. Profil tanpa nama atau unknown profil tidak akan diterima berkomentar. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan, sebaiknya tidak gunakan akun anonim.

Salam.