Lereng gunung Arjuno. Foto oleh Nieke. |
Apa yang kamu lakukan, seandainya kamu memiliki
enam batu Infinity Stones dan sarung tangan seperti Thanos dalam film Marvel –
The Avengers?
Thanos memilih melenyapkan separuh manusia untuk mengembalikan keseimbangan alam. Kalau saya, mungkin akan menjentikkan jari seraya membayangkan separuh populasi hutan yang kadung lenyap justru kembali agar alam menemukan harmoninya. Terutama hutan yang dirambah dengan liar, hutan lindung yang dikoyak keserakahan manusia, beserta satwa langkanya.
Thanos memilih melenyapkan separuh manusia untuk mengembalikan keseimbangan alam. Kalau saya, mungkin akan menjentikkan jari seraya membayangkan separuh populasi hutan yang kadung lenyap justru kembali agar alam menemukan harmoninya. Terutama hutan yang dirambah dengan liar, hutan lindung yang dikoyak keserakahan manusia, beserta satwa langkanya.
Sayang, itu hanya khayalan.
Alam memiliki keseimbangannya sendiri, yang bila
terganggu akan berdampak pula bagi kehidupan manusia. Di era digital
sekarang ini, upaya menjaga alam makin berat lantaran tempat wisata alam yang
viral tak serta merta diikuti perilaku menjaga lingkungannya. Padahal ketika
kita menjaga alam, alam pun akan menjaga kita. Budaya sadar bencana belum sepenuhnya tergambar dalam pikiran manusia.
Ini contohnya. Fenomena embun es di Dieng yang viral di media sosial
memikat makin banyak orang untuk datang. Sayang, kedatangan wisatawan tak diiringi perilaku menjaga alam.
Sampah-sampah menumpuk bertebaran. Lihat videonya di sini.
Ranu Kumbolo di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur,
pernah bernasib serupa. Tempat wisata yang terletak di pegunungan Tengger, kaki
Gunung Semeru ini populer sejak jadi tempat syuting film 5 Cm. Namun sayang,
pengunjung meninggalkan sampahnya di sana. Meski kemudian, para aktivis
lingkungan bergerak membersihkan sampah-sampah tersebut.
Hasil googling saya dengan kata kunci 'wisata Pulau Sempu'. |
Kita tidak bisa menyalahkan perkembangan dunia
digital dan telekomunikasi yang menjadi pendorong viralnya suatu tempat wisata.
Lalu apa yang bisa kita lakukan?
Dunia digital bagaikan pedang bermata dua. Kabar baiknya, kita
bisa memanfaatkannya untuk menyebar hal-hal positif. Dimulai dengan melibatkan
netizen, travelgram/travel blogger, selebgram, dan influencer untuk
sosialisasi lingkungan dan budaya sadar bencana.
Kalau kamu travelgram/travel blogger, selebgram, dan influencer, kamu punya andil lho menjaga kelestarian lingkungan. Pun jika kamu netizen.
Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita
Lereng gunung Arjuno. Foto oleh Nieke. |
Di era digital turisme macam sekarang, traveling dianggap sebagai kegiatan bersenang-senang di spot-spot Instagramable—dengan harapan menuai ribuan jempol (likes) dan viral.
Itu enggak salah, sih. Namun, kalau kita menjelajah foto-foto di Instagram, seberapa banyak kita temukan kepsyen yang menyampaikan kesadaran menjaga lingkungan, budaya sadar bencana, mengenali bahaya bencana alam, mengurangi risiko bencana, dan semacamnya?
Padahal travel blogger punya kemampuan mempengaruhi orang dalam mengambil keputusan bepergian, mulai dari destinasi, kuliner, hingga itinerary. Lantas, kenapa tidak merambah dalam hal kesadaran lingkungan? Misalnya menceritakan soal tempat yang bisa terancam kehilangan habitat alaminya, polusi, erosi tanah, dan sebagainya.
Foto oleh Nieke |
Pariwisata Ramah Lingkungan
Tempat-tempat wisata
alam idealnya menganut konsep pariwisata ramah lingkungan yang menjaga keaslian
wilayah alam. Pemenuhan akomodasi biasanya memang membutuhkan pembangunan
infrastruktur, namun semestinya tetap memperhitungkan keaslian wilayah, untuk
menjaga habitat di sekitarnya.
Taman Nasional Gunung
Leuser di Sumatera adalah salah satu contoh tempat yang berupaya mempertahankan
keaslian wilayahnya. Di sana, wisatawan memang tak akan mendapatkan kenikmatan
ala kota seperti akses internet, telekomunikasi, dan listrik 24 jam. Sebagai
gantinya, pengunjung bisa bebas menikmati alam dan habitatnya. Jika kamu beruntung, kamu bisa bertemu orang utan saat menjelajah hutan, gajah-gajah, sungai dengan aliran air
jernih. Kemudahan akses teknologi baru dirasakan setelah pengunjung keluar dari
area hutan dan mengarah ke kota besar.
Saya ingat ketika mengunjungi Tangkahan, bagian dari area Taman Nasional Gunung Leuser yang berbatasan antara Sumatera Utara dengan Aceh, pada 2006. Dari Medan menuju lokasi butuh waktu sekitar delapan jam dengan perjalanan darat. Perjalanan kami melalui hutan-hutan, termasuk hutan sawit, serta jalanan tak beraspal.
Pun tatkala tiba di sana tengah malam, kami masih menyeberangi sungai dengan perahu getek. Tak ada listrik yang mengaliri wilayah rumah-rumah yang kami diami selama beberapa hari tinggal di sana. Listrik hanya menyala beberapa jam dengan menggunakan mesin diesel. Toh, kami bisa menikmati tumbuhan-tumbuhan yang tak pernah kami lihat sebelumnya, suara alam, desau angin dan gemerisik daun, serta gemericik air sungai. Kami di tengah hutan.
Memang, tak semua tempat mesti menganut konsep seperti ini. Tergantung kondisi wilayahnya juga. Sebuah tempat bisa memadukan pariwisata digital dengan pariwisata ramah lingkungan. Di Surabaya misalnya, Wali Kota Tri Rismaharini menciptakan tempat-tempat wisata yang mulanya adalah tempat pembuangan sampah, salah satunya Taman Harmoni Keputih—yang kemudian viral dan dikenal sebagai hutan bambu ala Jepang.
Saya di hutan Taman Nasional Gunung Leuser, 2006. Dokumen pribadi. |
Pun tatkala tiba di sana tengah malam, kami masih menyeberangi sungai dengan perahu getek. Tak ada listrik yang mengaliri wilayah rumah-rumah yang kami diami selama beberapa hari tinggal di sana. Listrik hanya menyala beberapa jam dengan menggunakan mesin diesel. Toh, kami bisa menikmati tumbuhan-tumbuhan yang tak pernah kami lihat sebelumnya, suara alam, desau angin dan gemerisik daun, serta gemericik air sungai. Kami di tengah hutan.
Memang, tak semua tempat mesti menganut konsep seperti ini. Tergantung kondisi wilayahnya juga. Sebuah tempat bisa memadukan pariwisata digital dengan pariwisata ramah lingkungan. Di Surabaya misalnya, Wali Kota Tri Rismaharini menciptakan tempat-tempat wisata yang mulanya adalah tempat pembuangan sampah, salah satunya Taman Harmoni Keputih—yang kemudian viral dan dikenal sebagai hutan bambu ala Jepang.
Ilustrasi foto wisata Instagramable. Dokumen pribadi. |
Budaya Sadar Bencana
Menanamkan budaya sadar bencana tak mesti dengan
cara menggurui dan membosankan. Sosialisasi mengenai hal ini justru akan sangat
ampuh di tempat wisata rawan bencana atau pernah menjadi lokasi bencana. Teluk
Love yang terletak di Desa Sumberejo, Kabupaten Jember misalnya. Keindahan
teluk ini seperti magnet yang menarik ribuan wisatawan tiap pekan.
Menurut Tim SAR Rimba Laut, desa ini juga dinilai berpotensi ancaman bencana gelombang besar, gempa, dan tsunami. Biasanya, gelombang besar
rutin menyambangi wilayah laut selatan tiap Agustus hingga September. Pada 1994,
wilayah Desa Sumberejo pernah terdampak tsunami yang merupakan perluasan
gelombang tsunami Pancer di Banyuwangi. Itu sebabnya, perlu memperbanyak
rambu-rambu dan infrastruktur pengamanan keselamatan.
Lantaran itulah, penting adanya bekal pengetahuan
penanggulangan bencana bagi warga sekitar dan wisatawan. Kenali bahayanya,
siapkan strateginya, kurangi risikonya, sehingga warga siap untuk selamat. Misalnya
melalui rangkaian kegiatan Ekspedisi Destana yang pernah digelar tahun ini, dengan
melibatkan para pemuda pelajar Nahdlatul Ulama belajar cara penanganan dan
langkah tanggap darurat bencana.
Maka layaknya menirukan ucapan Captain America di The Avengers, "Netizeeeenn... Assemble!" Saatnya kamu, saya, kita bersama-sama membangun budaya sadar bencana dan menjaga alam pemberian dari Yang Kuasa.
Nieke Indrietta
Menanamkan budaya sadar bencana juga bisa melalui kerja sama dengan travelgram/travel blogger, selebgram, dan influencer. Tentunya, penanaman kesadaran mesti terlebih dulu dibangun atas para figur yang berpengaruh terhadap yang maha-benar-netizen.
Maka layaknya menirukan ucapan Captain America di The Avengers, "Netizeeeenn... Assemble!" Saatnya kamu, saya, kita bersama-sama membangun budaya sadar bencana dan menjaga alam pemberian dari Yang Kuasa.
Nieke Indrietta
Baca juga:
Mari Kita Cerita tentang Keanekaragaman Hayati
10 Alasan Kamu Mesti Liburan ke Kebun Teh Lawang Wonosari
Kuliner Jogja: Lezatnya Rujak Es Krim Pak Nardi Pakualaman
Wisata Batu: 5 Hal Unik Soal Museum Omah Munir
Suka khilaf hanya memikirkan jempol di instagram akan tetapi lupa bahwa kita mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan lingkungan yang lebih baik lagi. Dengan menjaga alam dan tidak merusak alam
BalasHapussaya sangat setuju mba, apalagi zaman sekarang masih minim kesadaran untuk lebih tanggap bencana. padahal sekarang sudah diberi kemudahan untuk mengakses bagaimana tanda - tanda bencana alam dan cara penanganan bencana.
BalasHapussehingga sekarang masyarakat banyak tidak mengetahui informasi yang sedang berkembang sekarang
Suka dengan kalimat ini "kita jaga alam, alam juga akan menjaga kita".
BalasHapusSayangnya masih banyak masyarakat yang kurang kesadaran dalam menjaga lingkungan. Datang ke tempat wisata alam bukannya jaga lingkungan tapi malah merusak dengan meninggalkan sampah di sana.
Jadi memang ada efek negatifnya dari viralnya suatu tempat wisata karena tidak diiringi dengan kesadaran. So peran influencer atau travel blogger penting banget nih di sini.
Sekarang itu memang banyak sih orang-orang yang pergi ke spot yang instagramable buat nyari like doang tanpa peduli yang dia lakukan. Padahal bisa aja dia ngerusak lingkungan. Penting banget sih emang kita tetap ngejaga lingkungan saat berwisata dan juga sebagai bloger ataupun influencer, mengajak para netizen buat ngelakuin hal yang sama
BalasHapusjadi pengin itu ke Gunung Leisure. Tapi kok perjalananannya agak menyeramkan ya. menyeramkan secara fisik sih.
BalasHapusBetul, setuju banget dengan kalimat "Kita jaga alam alam jaga kita" Kita itu hidup di dunia untuk merawat alam yg diciptakan Tuhan untuk kita, pasti manfaatnya akan kita rasakan juga
BalasHapusDuuuh sedih emang. Kebiasaan negara berflower ini emang suka membuang sampah sembarang an apalagi di tempat wisata dadakan atau pun emang tempat wisata. Padahal tempat sampah dimana mana. Harus diberikan edukasi besar besar an ya
BalasHapus