Menu

Percik Kata Nieke

Tampilkan postingan dengan label insight. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label insight. Tampilkan semua postingan

Selasa, 29 Juni 2010

Hujan Rasa Kopi


Sebelum senja membuka mata
Ada gerimis yang lirih
Jatuh di atas kepala
Mengalir ke bibir
Hujan rasa kopi

Mungkin Tuhan lupa
menambahkan krim
sebelum mengirimnya

Tuhan, aku mau yang rasa strawberry
Ini terlalu pahit

Aku ingin mencium senja
Mendekap jingga
Membawa hangatnya udara
Memasukkannya ke rongga dada
Mengisi relung jiwa
Tapi jingga tak mampir

Butir demi butir hujan kuhirup
Baunya pun seperti ampas kopi
Pahit


Jakarta, Plasa Semanggi, Selasa, 29 Juni 2010
Nieke Indrietta

bersama dua perempuan senja: Dian Ariffahmi dan Arti Ekawati

Rabu, 23 Juni 2010

Aku dan Bahagia




Bahagia itu bukan yang hal rumit sebenarnya....


Bahagia itu ketika menatap rona jingga di pipi langit | menghangatkan hati yang gelisah.


Bahagia itu ketika aku menemukan surat cinta dalam tiap tetes hujan dari langit.


Bahagia itu ketika Tuhan mengirimiku hujan rasa strawberry, langit rasa jingga, parfum laut dan jubah pelangi.


Bahagia itu ketika melihat wajah terkejut Mama, ketika aku tiba-tiba muncul di depan dapur di hari ultahnya. Dia tak menyangka aku pulang.


Bahagia itu tidak ditentukan oleh orang-orang sekitarmu. Kamu bisa memilih mau bahagia atau tidak. Kamu yang tentukan.


Bahagia itu tidak ditentukan oleh keadaan senang atau susah. Bahagia itu adalah kekuatan kala menghadapi saat susah.


Bahagia itu ketika melihat hidup seseorang yang dekat dengan kita, berubah hidupnya, menjadi lebih baik.


Saya bahagia ketika menghadapi situasi sulit, saya menemukan ada jalan dan harapan.


Bahagia itu ketika saya melihatmu tersenyum, setelah membaca tulisanku.


Bahagia itu mengingatMu, yang setia padaku, sekalipun aku tidak setia, yang selalu percaya, aku bisa mencapai mimpi.


Bahagia itu ketika menerima telpon Papa, yang bertanya kamu sudah makan belum, jangan lupa makan.


Bahagia itu ketika menemukan teman, dengan kasih yang tidak bersyarat menerima diriku apa adanya.


Bahagia itu ketika aku menemukan diriku terpantul di kedua bola matamu.


Bahagia itu ketika aku menulis dan tulisan itu bisa mempengaruhi orang lain bangkit dari kehidupannya, menjadi inspirasi.


Bahagia itu ketika aku melihat orang-orang terkasih dalam hidupku, tersenyum dan tertawa.


Bahagia itu ketika Dia memberikanku kesempatan kedua untuk mengarungi perjalanan hidupku.


Bahagia itu ketika aku bisa mengalahkan ketakutanku dan menemukan ternyata aku mampu.



Sst... kamu bisa menemukan kebahagiaan, bahkan dalam hal yang sederhana. :)


http://twitter.com/katanieke

Minggu, 06 Juni 2010

Mesin Waktu


Jika kamu menemukan mesin waktu, apa yang akan kamu lakukan? Dan, jika kamu punya kesempatan kembali ke masa lalu, ke masa mana kamu akan kembali?

Ini bukan pertanyaan dalam benak saya saja. Simak, tiga film yang bercerita tentang mesin waktu yang tengah tayang di layar lebar: “Shreek 3: Forever After”, “Prince of Persia: The Sands of Time”, dan “Hot Tube Time Machine”. Saya sudah nonton dua judul pertama. Dalam salah satu mata kuliah ilmu komunikasi, saya mengetahui film itu merepresentasikan fenomena yang sebenarnya terjadi.

Kenapa orang ingin kembali ke masa lalu?
*
Dukuh Atas, Jalan Sudirman, Jakarta. Pertengahan Mei 2010.

Saya buru-buru melompat ke dalam taksi segera setelah mobil itu menepi. “Proklamasi, Pak. Kita lewat Manggarai,” kata saya.

Lalu saya menyenderkan punggung. Sejenak memejamkan mata sambil mengingat hal-hal yang harus saya lakukan hari ini. Sampai suara “sember” sang sopir memecah keheningan.

“Di mana-mana jalan macet, Neng,” ucapnya. “Banyak demo.”

“Ohya?” Alis saya berkerut. Berusaha keras mengingat ini hari apa. “Oh, sepuluh tahun lalu kan Soeharto lengser,” jawab saya ketika berhasil mengingat.

“Ah, zaman sekarang ini memang nggak enak. Apa-apa susah. Cari makan susah. Cari pekerjaan susah. Lebih enak zaman Soeharto dulu, kan semuanya makmur,” katanya dengan nada dongkol.

Dahi saya langsung berkerut. Pikiran saya menolak. Tapi saya memilih mendengarkan pendapatnya, toh semua orang berhak memiliki pendapat yang berbeda.

“Coba, apa yang dihasilkan sekarang. Jalan tol, gedung-gedung, yang membangun kan Soeharto. Sekarang orang miskin bertambah, cari duit susah,” keluhnya bertubi-tubi.

Sebenarnya dalam pikiran saya tersedia argumentasi: tanpa bermaksud membela pemerintah sekarang, tentu saja jumlah orang miskin bertambah. Lha wong tiap tahun jumlah penduduk bertambah.

Urbanisasi makin kencang karena kesejahteraan tidak merata di seluruh daerah. Melihat tipe orangnya, percuma diajak debat. Dia sudah keukeh dengan pendapatnya. Saya memilih diam, dengan pemikiran, nanti toh kalau sudah capek bicara dia bakal diam. Mungkin dia lelah dengan beban ekonominya. Orang tipe begini hanya perlu didengarkan. Tidak perlu lagi diceramahi. Dia capek menanggung kehidupan.

Tapi dia terus saja bicara dan mengagung-agungkan masa lalu.

“Pak,” akhirnya saya bicara, dengan nada lembut. “Tidak sepenuhnya zaman dulu itu enak. Zaman itu banyak orang hilang misterius, tahu-tahu ditemukan sudah jadi mayat. Banyak yang diculik, dan tidak kembali. Jalan tol itu, yang bangun juga masih dinasti, yang masuk kocek keluarganya sendiri. Sebenarnya, tiap zaman itu ada pahit manisnya juga. Sama saja seperti sekarang,” tutur saya.

Bukannya dia menjadi semakin tenang, kedongkolannya semakin memuncak. Dia semakin memuji-muji pemerintahan orde baru yang menurut dia sukses dengan kemakmurannya. Ah, batin saya, andai dia tahu betapa di daerah terpencil dan pedalaman luar sana, pada masa itu penduduk banyak menjerit kelaparan dan kekeringan tanpa air. Dan jika zaman sekarang ini seperti pemerintahan orde baru, orang-orang dengan profesi seperti saya—wartawan—tak akan hidup tenang. Bisa diteror kapan pun, atau diancam pembunuhan bahkan menghilang.

Kenapa sih, orang ini “ngebet” sekali ingin kembali ke masa lalu?
*

Siapa sih, yang tidak pernah ingin kembali ke masa lalu? Masa-masa sulit, selalu membuat kita menoleh ke belakang, saat situasi masih begitu nyaman.

Saya pun pernah mengalaminya. Saya pernah hidup yang tidak kekurangan. Tidak usah mikir hari ini bakal makan apa, semuanya tersedia. Saya tinggal menadahkan tangan dan uang itu bakal mengalir ke kocek saya. Mobil dan sopir semua tersedia. Mau makan dan minum saya tinggal panggil pembantu di rumah, dan mereka buru-buru menyediakannya di meja makan saya. Arloji merek terbaru. Mobil keluaran terbaru. Saat parabola masih menjadi barang mewah dan langka, di rumah saya payung besi terbalik raksasa itu sudah nongkrong. Semua orang di sekolah mengenal siapa saya dan keluarga saya.

Benar pepatah bilang, hidup itu seperti roda yang berputar. Kadang kamu di atas, dan satu waktu kamu bakal di bawah. Krisis ekonomi datang dan menghajar semuanya. Bahkan rumah pun saya tidak punya. Tinggal harus mengontrak dari satu rumah ke rumah lain. Impian untuk sekolah di luar negeri pupus sudah. Saat-saat itu, betapa saya merutuki hidup.

Kesulitan yang datang bertubi-tubi memang bisa membuatmu mempertanyakan makna hidup dan siapa Tuhan. Saya mengerti rasanya. Betapa tidak nyaman jika kamu pernah memiliki kenyamanan dan semuanya itu tiba-tiba hilang begitu saja. Itu menyakitkan.

Saat itu, saya begitu ingin mengubah sejarah. Saya ingin kembali ke masa lalu.
Pertanyaan saya: “Tuhan, jika Kau memang ada, kenapa kau biarkan aku menderita?”

Tanpa saya sadar, hidup tengah memberikan bab pelajaran baru dalam catatan perjalanan kehidupan saya. Saya belajar hidup sederhana. Saya belajar rendah hati. Saya belajar naik angkutan kota. Saya bicara pada pedagang kaki lima dan pengemis. Saya mengenali siapa orang-orang yang tetap bersama saya ketika kehidupan saya memasuki masa kegelapannya. Saya menemukan teman-teman sejati saya. Orang-orang yang menarik saya dari dalam kegelapan dan membuat saya kembali mencintai kehidupan.

“Segala sesuatu yang kamu alami tak akan pernah melebihi kekuatanmu,” kata seorang teman di Jogja.

“Lalu kenapa Tuhan diam saja ketika saya menderita?” saya bertanya.

“Dia mengizinkan segala sesuatu itu terjadi untuk membentukmu menjadi sesuatu yang Dia siapkan. Suatu saat, kamu akan bertemu dengan orang-orang yang mengalami hal yang kamu alami. Dan kamu akan membagi pengalaman hidupmu pada mereka,” kata teman saya.

Milikilah harapan. Harapanlah yang membuat kamu hidup, bukan hidup itu sendiri. Saat kamu berjalan bersama Tuhan, kamu akan selalu menemukan harapan itu.

Teman saya itu benar. Saya bisa melaluinya. Hidup terus berjalan. Perubahan terjadi. Tantangan hidup selalu ada, tapi saya tahu di mana kekuatan sejati saya.

Saya bisa memilih, hidup dengan hati yang ditawan masa lalu, atau bergerak menerobos masa depan dengan harapan. Pikiran adalah mesin waktu itu. Saya punya pilihan menekan tombol off untuk melompat ke masa lalu. Dan menekan tombol on untuk menjalani hidup sekarang.

Napas saya masih berhembus. Jantung saya masih berdetak. Sampai saat ini. Saya tidak mau kembali pada masa lalu saya. Sama sekali.
*

“Belok mana, Neng? Kiri atau kanan?” tanya sopir dengan suara “sember” itu.

“Kiri Pak, kalau kiri itu Proklamasi. Kalau ke kanan itu Kramat Raya,” jawabku. Rupanya, dia berhenti mengoceh karena aku diam dan tidak menanggapi omongannya.

Taksi itu kuminta menepi di sebelah kiri, sebuah bangunan tingkat yang letaknya tak jauh dari Toko Buku Immanuel.

“Ini kantor apa, Mbak?” tanyanya.

“Oh, ini kantor Tempo. Majalah Tempo.” Aku melirik argo taksi, Rp 12.500. Aku membuka dompet dan mengambil uang dua puluh ribu.

“Majalah Tempo? Oh... Tempo, yang pernah dibredel itu? Ada yang namanya Bambang Harimurti itu?” suaranya seperti tercekat. Sepertinya dia mulai sadar, sepanjang perjalanan dia salah bicara.

“Iya, betul Pak,” ucapku sambil menyerahkan uang. “Tidak usah kembaliannya, buat Bapak saja, semoga hari Bapak menyenangkan,” lanjutku sambil tersenyum.

Bruk. Kututup pintu taksi. Berjalan menuju pintu masuk kantor yang terbuat dari kaca. Dari pantulan kaca, kulihat taksi itu belum juga beranjak. Bahkan sampai aku masuk dan menoleh ke luar, taksi itu masih belum beranjak. Sampai beberapa detik kutunggu, sedan itu baru berjalan.

Entah apa yang ia pikirkan.
***


Nieke Indrietta
Jakarta, Minggu, 6 Juni 2010

Minggu, 30 Mei 2010

Situasi Sulit Itu....


Apa arti saat sulit buatmu?



Situasi yang sulit membuat kita belajar: siapa Tuhan bagi kita dan siapa kita bagi Tuhan.

Situasi yang sulit menjadi kelas praktikum untuk menghadapi hidup dengan iman dan melihat diri kita sesuai apa janjiNYA.

Situasi yang sulit membuat kita merendahkan hati, meletakkan kekuatan dan harapan di tanganNYA.

Keberhasilan menghadapi situasi yang sulit membuat kita menyadari: ini bukan cerita tentang kita. Ini cerita tentang DIA.

Situasi yang sulit itu seperti cermin yang membuat kita melihat siapa sesungguhnya diri kita, dan apa yang tersembunyi di dalam hati kita.


Nieke Indrietta
(on my way to Kuningan Place this morning, Sunday, May 30, 2010)

Selasa, 25 Mei 2010

Pena



"Apa yang saya lakukan tidak menentukan siapa saya
akan tetapi siapa saya menentukan apa yang saya lakukan.

Selasa, 30 Maret 2010

Surat Kepada Gadis Beijing

foto diunduh dari www.freefoto.com
Surat ini kutulis untuk gadis yang aku lupa nama-namanya. Belakangan, aku membaca berita beberapa perempuan di Beijing melakukan operasi plastik demi pria. Ada yang merombak wajahnya menjadi Jessica Alba, aktris terkenal dari negara Abang Sam, karena pacarnya menggilai perempuan itu. Ada yang terobsesi mengubah wajahnya menjadi Angelina Jolie. Berita yang kubaca kemarin, perempuan di Beijing itu mau mengubah wajahnya demi calon suaminya. Sang pria hanya mau menikahinya kalau sang perempuan mau bedah plastik. Mengubah wajahnya persis seperti mendiang istrinya.

Jumat, 26 Maret 2010

Sahabat Setia


Anjing, hewan peliharaan paling setia bagi manusia. Hachiko salah satunya. Ini film yang dibintangi aktor ganteng Richard Gere. Saya nonton film itu beberapa waktu lalu. Hachiko adalah anjing kesayangan Parker Wilson (diperankan Richard Gere), seorang dosen. Setiap berangkat kerja, Hachiko menemaninya ke stasiun. Pulang ke rumah. Lalu pergi lagi ke stasiun pada jam Parker pulang kerja, menunggunya di depan stasiun.

Suatu hari, Parker meninggal saat mengajar. Ia tak pulang. Hachiko menunggunya di depan stasiun hingga larut malam. Hachiko tak tahu jika Parker telah tiada. Biarpun Hachiko kemudian dibawa pulang putri Parker, esoknya, Hachiko tetap menunggu Parker pulang di depan stasiun. Tiap hari. Hingga sembilan tahun. Bayangkan, sembilan tahun! Hingga Hachiko menghembuskan napas terakhir pada jam Parker pulang kantor, di depan stasiun yang sama.

Tak bisa menahan air mata jatuh dari pelupuk mata. Adegan demi adegan seekor anjing yang setia menunggu kepulangan tuannya membuat saya tertegun. Hanyut dalam haru. Film ini memang bercerita tentang kesetiaan dan kasih sayang.

Saya keluar dari bioskop dengan mata sembab. Naik taksi dengan adegan demi adegan yang masih bermain-main dalam pikiran. Seekor anjing yang begitu setia. Adakah pribadi yang seperti itu? Kesetiaan sekarang mahal harganya. Saya punya banyak teman, tapi berapa yang setia? Berapa yang ada dalam masa suka dan duka saya? Saya benci ketidaksetiaan.

Diri saya, apakah saya setia kepada teman-teman saya? Dalam hal apa saya setia? Apakah saya setia mengingatkan ketika mereka berbuat salah? Apakah saya ada ketika mereka dirundung duka? Adakah saya saat mereka membutuhkan tempat mencurahkan kata dan airmata? Puluhan pertanyaan memberondong pikiran saya. Mungkin mereka juga benci melihat ketidaksetiaan saya.

Ah, bukankah manusia membutuhkan pribadi yang setia?

Yang bisa menerima kita apa adanya.

Yang ada dalam suka dan duka.

Yang tidak memanfaatkan kita.

Yang tetap tersenyum saat kita melakukan kesalahan.

Adakah pribadi yang seperti itu?

Sesampai di rumah, saya tak bisa memejamkan mata. Saya berbaring sambil menatap langit-langit kamar. Lalu suara itu muncul.

“Bukankah Aku selalu setia menunggumu?”

Tak sampai semenit, masa lalu saya berkelebat. Ketika saya putus asa, sendirian, benci melihat hidup sendiri. Potongan-potongan gambar itu begitu jelas seperti film yang sedang diputar.

“Saat itu, Aku selalu menunggumu untuk menolehkan wajahmu padaku.”

Seperti seorang pria yang jatuh cinta. Yang menatap lekat perempuan yang dikasihinya. Yang mengamatinya dari kejauhan. Yang berharap perempuan itu menoleh padanya, lalu tersenyum. Aku rindu mengasihimu. Seperti seorang kekasih Aku menanti. Aku ingin terlibat dalam kehidupanmu. Menjadi sahabatmu. Aku memanggilmu dengan lembut. Dengan bisikan dalam hatimu. TanganKu menopangmu supaya kamu tak jatuh tergeletak. Bukankah Aku selalu ada untukmu?

Akhirnya kamu datang padaku. Kamu berlutut dan mengucapkan namaKu, untuk kamu patri dalam hatimu. Aku sangat senang saat itu. Aku memelukmu. Tak ingin melepasmu. Kamu menitikkan airmata. Kamu merasa tak layak. Tapi Aku bilang, tak apa. Aku punya kasih yang sempurna, meski kamu tak sempurna.

Sampai sekarang pun, Aku selalu ada untukmu. Aku selalu setia untukmu. Mataku selalu tertuju padamu. Datanglah dan nikmati kasihKu. Kau bisa datang kapanpun. Kau bisa menghubungiKu kapanpun. Tiap detik, tiap menit. 24 jam.

Kita berbagi rahasia. Kita tertawa. Kita menangis bersama.

Aku selalu ada untukmu.Kamu tidak lagi terpisah dariku.


Ah, saya hampir saja melupakan ini. Ketika berada dalam masalah, saya cenderung berusaha dengan kekuatan sendiri. Saya melupakannya, ketika saya mengutamakan kekhawatiran dan ketakutan. Tapi Dia selalu setia. Selalu menunggu saya datang padaNya. Dia tak berubah sedikitpun sejak saya mengenalNya. KesetiaanNya meremukkan hati saya.

“Kita telah mengenal dan telah percaya akan kasih Allah kepada kita. Allah adalah kasih dan barangsiapa tetap berada di dalam kasih, ia tetap berada di dalam Allah dan Allah di dalam dia.” (1 Yohanes 4:16)

Dengan pribadi seperti itu, saya tak mampu mengelak. Detik itu, saya bisa merasakan makna lagu “Deep in Love with You” dari Michael W. Smith. Kata-katanya terngiang-ngiang di kepala saya. Melodinya menari-nari di hati saya.

Sitting at Your feet is where I want to be
I'm home when I am here with You
Ruined by Your grace, enamored by Your gaze
I can't resist the tenderness in You

I'm deep in love with You, Abba Father
I'm deep in love with You, Lord
My heart, it beats for You, precious Jesus
I'm deep in love with You Lord (Michael W. Smith)


***

Kamis, 04 Maret 2010

Beradu dengan Waktu

Pernahkah kamu merasa waktu begitu cepat berlalu? Banyak hal yang mesti dikerjakan, tapi sehari cuma ada 24 jam.


Jumat, 19 Februari 2010

Membunuh Takut



“Kok kamu nggak cerita punya AMP Joyce Meyer?” Itu pertanyaan Ps Evelyn waktu mengantarku ke kantor, jam setengah sembilan pagi. Malam sebelumnya aku lembur di Kuningan Place.

Kantorku letaknya cuma jarak satu rumah dari toko buku Immanuel di Jalan Proklamasi. Tapi kedekatan lokasi bukan alasanku membeli AMP Bible yang mencantumkan catatan Joyce Meyer, seorang penulis dan pengajar.

Awalnya ngomong apa ya? Oiya, karena kantorku dekat dengan toko buku Immanuel, Ps Evelyn bertanya apakah dia bisa nitip dibeliin buku. Lalu aku jawab, dengan senang hati, lagian aku punya kartu diskon dan member Immanuel.

Ps Evelyn terus nanya lagi, ha? Memang ada ya kartu member dan diskon?

Ada, jawabku.

Gimana itu caranya, tanya dia lagi.

Aku menjelaskan. Nggak sengaja dapatnya. Syaratnya harus belanja Rp 500 ribu. Nah, waktu itu, aku beli AMP Joyce Meyer.

Kapan kamu belinya?

Awal bulan ini, jawabku.

Memang harganya berapa AMP Joyce Meyer? Tanya Ps Evelyn.

Aku menelan ludah. Huks. Lalu menjawab, Rp 459 ribu.

Dug.

Sudah kuduga, Ps Evelyn juga terkejut mendengar harganya.
***


Telepon selulerku berkedip. Suara seorang perempuan menyanyi dengan bahasa Perancis menjadi nada dering tanda ada pesan pendek yang masuk.

“Selamat siang mbak. Ini dari Toko Buku Immanuel. Pesanan Amplified Bible Joyce Meyer-nya sudah ada. Sudah bisa diambil.......”

Waw, pesanan yang sudah lama aku tunggu! GILA. Aku sudah memesan sejak awal 2009. Bulan-bulan pertama tahun lalu semangat mencarinya. Tapi karena nggak kunjung ada, aku jadi lupa. Makanya, aku nyaris melompat saking girangnya. NYARIS. Sampai membaca kalimat terakhir pesan pendeknya.

“.....Harganya Rp 459 ribu.”

Dug.

Hiyaaaa. Mahalnyaaaa.....!

Ini di luar perkiraanku. Tadinya aku perkirakan harganya paling mahal Rp 300 ribu. Hiks. Harganya lebih mahal dari sewa kos-ku.

Aku lagi hidup mengandalkan tabunganku. Aku sudah bayar buah sulung. Jadi bulan ini aku hidup dengan iman, Tuhan yang akan menghidupiku. Jadi aku sudah bikin rencana keuangan yang begitu ketat. Pokoknya nggak ada belanja baju, buku, dan pernak-pernik. Kecuali yang penting-penting.

Sampai pesan pendek itu datang. Aduh... gimana ya? Lalu aku mengabaikan pesan pendek itu. Melanjutkan tidurku di hari Minggu. Biar aja, pikirku. Pasti juga bakal ada orang lain yang lebih kaya dari aku yang bakal beli buku itu. Rela-in aja deh! Aku bisa nyari AMP yang lebih murah lainnya.

Pesan aku hapus.

Dua hari kemudian. Aku sudah nyaris melupakan AMP itu.

“Selamat siang mbak Nieke. Ini dari Toko Buku Immanuel. Pesanan Amplified Bible Joyce Meyer-nya sudah ada. Sudah bisa diambil. Harganya Rp 459 ribu.Kapan mau diambil?”

Ouch. Pesan pendek itu datang lagi. Huh.

Kali ini aku agak lama memandangi layar mungil Nokia 6300-ku.

Bukannya kamu memang pengen? Tiba-tiba saja ada suara.

Ummm... iya sih.

Sayang lho kalau nggak diambil. Itu Joyce Meyer punya. Nyarinya susah.

Harganya mahal. Aku lagi berhemat. Kalau belanja juga harus pake hikmat kan?

Joyce Meyer itu penulis yang bagus ya. Dia itu handal banget kalau nulis soal emosi .

Terus. Apa hubungannya?

Kamu diberkati sama buku “How to Manage Your Emotions” kan yah?

Iya. Iya bangeet...! Buku itu banyak banget berbicara buat aku.

Pasti banyak hal menarik deh, di AMP-nya. Joyce Meyer buat catatan apa ya di situ? Hmm....

Nggg.... ngg...

“Sore. Terima kasih atas pemberitahuannya. Saya akan mengambil barangnya besok.” Aku pasti SUDAH GILA saat menulis pesan pendek itu.
***

Akhirnya buku itu berpindah tangan. Barangkali aku memang sudah tidak waras. Aku berkali-kali menatap AMP Bible itu. Mengingat harganya sangat menyakitkan. Oh!
Tanganku bergerak membuka-buka halamannya. Hmm, kertasnya tipis yah. Yah, tapi nggak jelek-jelek amat sih kertasnya. Rp 459 ribu. Duh.

Sampai jemariku tidak sengaja membuka sebuah halaman. Kata-kata yang diletakkan dalam sebuah kolom berbentuk kotak : Fear God, not people.

Aku terhenyak.

Kata-kata itu terasa menghunjam. Fear God, not people. 2 Samuel 23 : 3.

Mataku segera bergerak mencari ayat yang dimaksud lalu membacanya sampai habis.

Dalam sedetik, aku larut. Hanyut.

Anyone who is going to do the will of God must have more fear of God than of man.

Lalu ada yang melompat dari pelupuk mataku.

Yah, aku selalu takut. Aku takut. Aku takut bicara. Aku takut mengungkapkan ide-ideku. Aku sebenarnya takut. Aku takut orang salah paham padaku. Aku takut orang tersinggung atau salah mengartikan kata-kataku. Jadi, aku sering memutuskan diam. Bahkan aku memilih diam, meskipun aku benar. Itu karena aku takut.

Lalu suara itu muncul. “Silence is not always golden. Setiap ide dalam pikiranmu adalah benih. Jika kamu takut bicara dan tidak mengungkapkannya. Kamu sudah mengaborsi benih yang kutaruh dalam dirimu.”

Aku terhenyak.

Sama dengan aborsi?

Iya. Sama dengan aborsi. Aborsi. Membunuh.

Mataku berkabut. Airmataku jatuh satu-satu.

Bahkan aku takut membeli buku ini. Aku takut uangku nggak cukup. Aku takut...

My God, there is none like You. Whom shall I fear? If You are for me, what can man do to me?

Lalu hangat menyelimuti hatiku.

Aku masih ingat harga buku itu Rp 459 ribu. Tapi tidak terasa lagi menyakitkan. Aku jatuh cinta padanya. Tiap hari kubaca. Tiap hari menemukan hal baru. Terisak.
Menemukan kekuatan baru.

Ah, i really love Joyce Meyer’s notes! I love my new AMP Bible.
****

Senin, 01 Februari 2010

Sebuah Mahakarya




Sebuah ladang gandum kuning keemasan langsung tersaji di benak saya. Lamat-lamat, bibir saya membacakan sepotong prosa Wendoko, dari bukunya yang bertajuk “Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa.”

Ladang gandum mengombak
-cokelat dan kuning emas.
Langit adalah goresan yang patah-patah
di muka kanvas
-kuning-pudar dan bergaris hitam.
Ada matahari yang bulat – kuning-pucat.
......


Dua orang yang sedang duduk bersama saya—sore itu—terkesima. “Waw, itu judulnya apa?” tanya Ps Evelyn. Dialah yang baru saja memberikan buku itu kepada saya, masih terbungkus sampul dan kantong plastik sebuah toko buku ternama. Saya yang tak sabar segera merobek plastik pembungkus dan acak membaca halaman demi halaman. Lalu menemukan sepotong prosa itu.

“Van Gogh : Wheat Field Behind Saint Paul Hospital With A Reaper,” jawab saya sambil tersenyum. Terperangkap dalam pesona kata-kata sang penyair.

“Waw,” Viona mendesis. Pandangannya menerawang. Saya yakin, ia pun membayangkan imaji ladang gandum yang sama.

“Van Gogh, bukankah ia seorang pelukis,” ujar Ps Evelyn.

“Ya, ya, dia seorang pelukis,” jawab saya.

Mungkin sang penyair menatap lukisan pelukis Belanda itu. Merekam dalam ingatan. Lalu menumpahkannya kembali ke dalam ramuan kata-kata.

“ Vincent Van Gogh bukan?” ucap Ps Evelyn.

Sekali lagi saya mengangguk. Benar, Van Gogh yang itu. Pelukis yang malang. Seluruh lukisannya terkenal, menjadi mahakarya, justru ketika ia mati. Ironinya, semasa pemuda ini hidup, tak seorang pun menghargai karyanya. Van Gogh memberontak dari aliran impresionisme. Ia memilih melukis dengan ekspresif. Orang-orang menganggapnya aneh, memandang sebelah mata. Laki-laki ini depresi. Mengakhiri hidupnya. Setelah Van Gogh meninggal, justru orang menoleh pada karyanya. Lalu meledak menjadi mahakarya.

“Ya ampun, jadi ia terkenal setelah ia mati? Setelah ia bunuh diri?” Viona melongo.

Lagi-lagi saya mengangguk. Ironis ya.

“Masa kita harus bunuh diri dulu baru kemudian bisa terkenal?” ucapnya kemudian. Masih terheran-heran.

Kalimat Viona berdengung di telinga. Seperti lebah. Masa kita harus bunuh diri dulu baru kemudian bisa terkenal? Lalu siapa yang akan menikmati hasilnya? Orang lain?

Benar kata pepatah, banyak jalan menuju Roma. Maksud saya, sepertinya memang benar-benar banyak cara untuk menjadi terkenal. Dari yang ekstrem negatif sampai ekstrem positif. Tapi kalau benar-benar mencermati berita-berita di koran dan majalah, acara gosip dan hiburan di televisi, lebih banyak negatifnya.

Ada bintang film yang terkenal setelah berpose nyaris telanjang di sebuah film atau majalah.
Si penyanyi itu terkenal setelah menjadi simpanan pengusaha.
Pejabat itu naik pangkat setelah menendang rivalnya, membuat jebakan intrik dan politik.
Konglomerat itu berhasil mencaplok sejumlah perusahaan kecil setelah sebelumnay mengintimidasi mereka.
Rocker itu terkenal dengan aksi panggungnya setelah mencandu narkoba.
Perempuan itu populer karena tak segan memamerkan bagian-bagian tubuhnya yang sensitif. Menjadikannya komoditas bergilir.

Daftar ini bisa panjang kalau diteruskan. Yayaya, mereka pun melakukan bunuh diri sebenarnya. Bunuh diri yang bukan fisik. Bukan raga yang mati. Tapi jiwa, harga diri, nilai, moral, prinsip. Itulah yang mereka bunuh dalam diri mereka. Dikorbankan sebagai tumbal supaya diri mereka populer, diterima banyak orang, kaya raya, punya tahta. Sebenarnya kita sering melakukannya juga.

Tidak percaya?

Ketika kita melontarkan kata-kata dan sikap yang melukai hati orang lain. Lalu kita enggan meminta maaf karena gengsi.
Ketika kita bertengkar dengan orangtua.
Ketika kita membohongi seseorang.
Ketika kita mengkhianati kepercayaan seseorang yang dekat dengan kita.
Ketika kita membalas dendam.
Memaki orang.
Kesal ketika dituduh melakukan sesuatu oleh bos, lalu membicarakannya di belakang.
Enggan memaafkan.


Masih panjang juga daftarnya kalau diteruskan. Berapa kali kita membunuh suara nurani saat itu terjadi? Ketika kita mengutamakan ego? Uh-oh. Sepertinya cuma manusia setengah dewa yang bisa menghindarinya, yang sudah tidak menghirup napas di bumi. Yang terbang di awan-awan.

Um... tapi seseorang bilang pada saya. Tak ada sesuatu yang mustahil. Apalagi setelah saya mengenal Dia. Ngomong-ngomong, sudah kenal Dia belum? Seorang laki-laki yang lahir di Betlehem, namanya Yesus. Setelah mengenalNya, kerinduanNya adalah kita menjadi serupa dengan Dia. Dia memberi kita kasih karunia, yang menyanggupkan kita serupa dengan Dia.

Tunggu, tunggu. Apa hubungannya terkenal dan menjadi serupa dengan Dia?


Sebagai orang Kristen, kita adalah garam dan terang kan? Terang, artinya kita bersinar di antara sekelompok orang. Ya, kita bisa terkenal, dikenal, tanpa kita harus “membunuh” nurani. Lalu menjadi zombie. Bukankah Yesus memberi jalannya?

Kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus. Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya (Roma 6 : 11-12).


Yang seharusnya kita bunuh adalah “ego”. Um, ya-ya-ya. Ini berat. EGO. Penguasaan diri. Hufff.... Saya ingin menarik napas.

Ketika disalahkan atas sesuatu yang sebenarnya bukan salah kita, tapi mesti memaafkan.
Mesti bersabar pada orang yang berkali-kali melakukan kesalahan. (Padahal ingin marah-marah!)

Ehm, yang ini daftarnya juga bisa panjang. Awh! Ini tak mudah, memang. Tapi hanya orang yang sanggup membunuh “ego”nya, yang hidupnya bisa berubah. Ketika kita mematikan ego satu demi satu, cahaya Kristus mulai bersinar dalam diri kita. Karakter kita yang berubah. Orang memandang kita berbeda. Saat itulah, Tuhan memahat sebuah mahakarya dalam diri kita. Sebuah lukisan kehidupan, yang terdiri atas kepingan-kepingan yang disatukan. Dan di pojok kanan bawah kanvas, ada guratan namanya.

“From Jesus, with love.”
Hmm... rasanya seperti dipeluk Tuhan.


***

Jumat, 29 Januari 2010

Untung, Tuhan Tidak Kapitalis




Begini. Terus terang, dahi saya berkerut kala saya menonton film layar lebar 2012. Bukan karena spesial efek yang mengagumkan. Bukan karena adegan-adegan tak masuk akalnya atau cerita yang seru. Juga bukan karena saya merasa takut kiamat.

Saya yakin sebagian besar orang sudah menonton film besutan Roland Emmerich itu. Ya, itu tuh, tentang ramalan suku Maya bahwa sistem kalender berakhir pada Desember 2012. Lantas apa yang terjadi setelah itu? Spekulasi kiamat pun muncul. Mencari selamat, mereka membuat sebuah bahtera raksasa seperti zaman Nabi Nuh. Nah, ini yang membuat dahi saya berkerut.

Mau selamat dari kiamat? Anda bisa membeli tempat di bahtera ala Nabi Nuh.

Boleh saya ulangi kalimat ini?

Mau selamat dari kiamat? Anda bisa MEMBELI TEMPAT di bahtera ala Nabi Nuh.

Keselamatan menjadi komoditas perdagangan menjelang kiamat. Saya tak heran, dalam film itu, orang-orang yang bisa membeli tempat hanya orang-orang yang berduit. Konglomerat. Pejabat. Mungkin uang itu dibeli dari uang hasil manipulasi dan korupsi, atau judi. Entah. Yang jelas mereka sangat berduit.

Lalu ada adegan, beberapa otoritas memilih siapa rakyat jelata yang akan diselamatkan. Otoritas ini memeriksa setiap orang. Mereka menetapkan syarat orang untuk bisa selamat : sehat jasmani dan rohani, intelektual, punya kemampuan tertentu.

Dasar film Hollywood. Dasar kapitalis. Saya pikir, begitulah jika manusia membuat film keselamatan dengan versi manusia. Keselamatan menjadi sesuatu yang bisa diperjualbelikan. Keselamatan tergantung kamu punya uang atau tidak. Ah, tapi bukankah begitu pertemanan di bumi selama ini? Orang mengukur orang lain dengan uang, jabatan, kepentingan, kepandaian, kecantikan.

Yang jelas, dalam 2012, saya melihat : begitulah yang terjadi jika manusia yang menentukan ukuran keselamatan. Saya yakin dunia nyata tak jauh berbeda. Lihat saja realita. Tengok surat kabar, televisi, dunia elektronik maya.

Lalu saya bersyukur, bukan manusia yang menentukan keselamatan.

Tuhan menggunakan ukuran berbeda, yang kita sendiri tak akan pernah sanggup memahami pola pikirNya. Ukurannya bukan uang, bukan materi, bukan kepandaian, bukan kecantikan. Malah, orang-orang yang hancur hidupnya, yang remuk redam hatinya, yang mengelana jauh dariNya.

Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu; jangan ada orang yang memegahkan diri (Efesus 2:8-9).

Jika Tuhan adalah seorang gembala domba, Dia akan meninggalkan 99 ekor untuk mencari satu yang hilang. Jika Tuhan adalah seorang pedagang, Dia tak akan rela jika satu sen pun menghilang. Dia akan mencari pelita, berjongkok-jongkok dan mencarinya sampai ketemu.

Begitu besar kasih Tuhan pada manusia, hingga Dia mengirim putraNya yang tunggal, untuk mati di kayu salib. Seorang putra mahkota kerajaan surga, menanggalkan jubah kerajaannya dan menjadi rakyat jelata, sama seperti kita. Seorang anak laki-laki yang lahir, dengan tujuan mati di kayu salib. Darah yang tercurah di kayu salib itulah yang mengubah kehidupan kita.

Tuhan tak pernah meminta kita MEMBELI KESELAMATAN. Tuhanlah yang MEMBAYAR KESELAMATAN buat kita. Tuhan telah MENYEDIAKAN TEMPAT untuk kita. Melupakan kesalahan-kesalahan di kehidupan lama. Memberi kita kehidupan yang baru.

Dia menunggu di lorong depan kamarmu ketika kamu menutup pintu hatimu. Dia duduk di sebelahmu, ketika kamu menangis. Dia melihat hatimu yang hancur, jemariNya ingin meraihmu untuk menyatukan kepingan hati itu. Dia melihatmu tertawa dan bercanda dengan teman-temanmu, ingin ikut bergabung denganmu. Ketika kamu tertekan dan tak ada yang bisa diajak curhat, Dia di sampingmu. Menyendengkan telingaNya untuk mendengar tiap perkataanmu. Ingin memelukmu.

Dia rindu untuk bercakap-cakap denganMu. “Maukah kamu membuka pintu hatimu?” bisikNya lembut. Dia mau kamu bertemu secara pribadi denganNya.

Setelah kita mengalami pertemuan pribadi denganNya pun, ketika kita melakukan kesalahan, kasih karunianya selalu tersedia. Sebuah kasih yang tak terukur, yang membuat kita sanggup mengasihiNya. Memberi kekuatan untuk mengarungi perjalanan bersamaNya.

Ah, untung Tuhan tidak kapitalis!

***

Selasa, 12 Januari 2010

Adakah Tuhan di Diskotek?


Adakah Tuhan di diskotek?
Pertanyaan itu meluncur dari bibir seorang kawan. Dia tampaknya terheran-heran mendengar jawabanku, kala dia bertanya dimanakah aku menghabiskan malam tahun baruku. Bahkan saking herannya, dia bertanya sampai tiga kali. Sepertinya dia menganggap aku salah menghabiskan malam tahun baruku.

Kawan : Kamu malam tahun baru di mana.
Aku : Ibadah.
Kawan : Iya, maksud aku pas malam tahun baru kamu ngapain? Masa ibadah?
Aku : Iya memang ibadah.
Kawan : Jadi pas malam tahun baru kamu ibadah?
Aku : Iya, aku ibadah.
Kawan : Tahun lalu kamu tahun baru ngapain?
Aku : Ibadah.
Kawan : Kalau begitu, tahun depan kamu harus mencoba yang berbeda.
Aku : Tahun depan aku akan melakukan hal yang sama, kalau tidak ada aral melintang.
Kawan : Membosankan. Malam tahun baru ibadah? Kenapa tidak diskotek? Tuhan juga ada di diskotek.

Well, Tuhan ada di mana-mana. Tuhan pun ada di diskotek. Masalahnya adalah hatimu. Mencari Dia atau tidak. Kerinduan hati Tuhan adalah menarik anak-anaknya mendekat padaNya. Maka dia dimana-mana.

Pertemuan pertamaku dengan Tuhan pun tak terjadi di tempat ibadah. Atau sewaktu aku ibadah. Pertemuan pertamaku justru terjadi saat aku melarikan diri dariNya. Dia memanggilku dengan lembut, hangat dan istimewa.

Umur 15 tahun itu pertama kali aku mengenal diskotek. Tahun berikutnya dengan beberapa saudara menghabiskan malam tahun baru di sana. Tapi aku tidak menemukan apa-apa. Lalu mencoba menghabiskan malam tahun baru dengan keliling kota, nonton kembang api, nongkrong... Tahun demi tahun kulewati dengan hampa. Dan sekarang, disuruh menjadikan diskotek sebagai tempat bermalam tahun baru? No, thanks.

Sejak pertemuanku denganNya. Tepatnya sejak Dia menangkapku dengan kasihNya yang sempurna, tak ada hal lain yang menyenangkan selain Dia.

Beberapa orang mungkin memilih menghabiskan malam tahun baru dengan keluarganya. Tidak ada yang salah. Tuhan pun di sana.

Orang lain mungkin memilih melakukan perjalanan ke luar kota dengan teman-temannya. "Aku ingin menghabiskan malam tahun baru dengan merenung saja," katanya.

Dan kawan lain menganggap tak ada yang istimewa dari malam pergantian tahun. "Itu hanya produk kapitalisme untuk menawarkan produk-produknya. Coba lihat, kafe, hotel, konser, kalender laku keras. Tapi sebenarnya cuma berganti hari dan angka," katanya.

Aku cuma tidak mau hidup yang cuma "hidup dari hari ke hari". Hmm... kalau demikian, betapa membosankannya hidup. Menyaksikan hal yang sama. Melakukan hal yang sama. Hidup menjadi rutinitas.

Aku cuma tak mau melewatkan malam pergantian tahun dengan hal sia-sia. OK, kalau mau pakai istilah kapitalisme. Ibarat dagang, berarti aku harus melewati malam tahun baruku dengan bernilai, dong. Jadi aku harus diuntungkan.

Kalau begitu, pertanyaan berikutnya adalah, apakah aku diuntungkan memutuskan malam tahun baruku dengan ibadah? Jawabanku adalah ya.

Semua orang tengah panik dengan krisis ekonomi global. Hampir semua pengamat ekonomi, pelaku pasar, pengusaha, pengekspor yang pernah aku wawancara, mengatakan tahun 2009 adalah tahun yang kelam. Tahun suram dimana dampak krisis yang bermula dari kasus kredit macet perumahan Amerika Serikat itu akan mulai menjalar ke belahan dunia, termasuk Indonesia. Kejatuhan bursa saham di 2008 menjadi pembuka. Disusul order ekspor yang berguguran dan harga komoditas unggulan yang anjlok. Perusahaan dan pabrik kolaps. Kemudian, gelombang PHK sudah mulai terjadi di mana-mana.

Indonesia ibarat kapal yang tengah dipermainkan gelombang samudera dan badai. Kita berada dalam kapal itu.

Bila keadaan seperti itu, apa yang kamu cari? Pegangan kan? Mengirim sandi morse, tanda SOS. Mencari pertolongan. Memanggil Tim SAR.

Yup! That's it. Kamu sudah menjawabnya dengan tepat. Saya tidak mungkin menemukan "pegangan" itu di diskotek. (Ditambah saya juga merasa tidak menemukan jawaban di sana).

Yang saya lakukan di malam pergantian tahun baru, saya mengirim "SOS" dan "sandi morse". Saya ingin mencari Dia. Saya ingin mendengar suaraNya. Saya mau berpegang erat padaNya.

Biarpun saya hanya sempat tidur satu setengah jam karena jam enam pagi hari pertama tahun baru saya sudah harus kembali bekerja. Tapi saya tahu, saya siap menghadapi tahun ini. Saya tak peduli orang bilang krisis. Saya tahu, Dia bersama saya. Saya tidak sendirian. Saya bisa melaluinya. Karena Dia bilang, "Ketika kamu jatuh, Aku tidak akan membiarkanmu tergeletak." Dia juga berjanji akan membuat segala pekerjaanku berhasil. Itu hal yang sangat menguntungkan! (dalam bahasa kapitalisme).

Keesokan harinya, aku mendengar kawan itu, menanyakan hal yang sama pada kawan yang lain. Rupanya dia masih penasaran.

Kawan : Kamu malam tahun baru dimana?
Kawan lain : Emang kenapa?
Kawan : Aku sudah tanya dia (menunjukku). Dia malam tahun baru malah ibadah.
Kawan lain : Kayaknya aku nongkrong bersama teman. Emang kamu tahun baru gimana?
Kawan : Ga ngapa-ngapain. Aku bahkan sempat ketiduran.
Kawan lain : Terus.
Kawan : Entahlah. Aku merasa hampa. Kalau kamu gimana?
Kawan lain : Biasa aja.
Kawan : Aku merasa hampa. Hampa. (dia mengulang kalimat itu berulang kali).

Jadi, adakah Tuhan di diskotek? Permasalahannya adalah hatimu. Apakah hati kita haus mencari Dia? Atau hati yang kecewa karena tak ada perubahan dalam hidup?

Hidup adalah pilihan. Kamu bisa memilih memuaskan rasa "hampa"mu, atau memuaskan dahagamu dan menemukan arti sebuah kehidupan.

***
17 Januari 2009

Minggu, 10 Januari 2010

Hujan di Bulan Juli


Kristal lembut itu jatuh,
terserap bumi yang tengah kering kehausan.
Hampir tiba tengah malam saat
jutaan kristal itu melayang begitu saja. Lalu kucium semerbak aroma tanah. Hmm.

Menggulung tubuh dengan selimut. Menikmati keanehan alam.

Hujan di bulan Juli? Bukankah harusnya belahan bumi tempatku tinggal telah memasuki musim kemarau?

Climate change, kata orang. Akibat hujan dihajar habis-habisan, kata situs lingkungan. Global warming, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang berorientasi lingkungan bilang.

Apalah itu. Tapi aku menikmati hujan yang mampir di bulan yang harusnya kemarau ini. Maaf kemarau, bukan aku tak menyukaimu. Aku juga memikirkan petani yang kebingungan, bagaimana mengurusi sawah dan menentukan panen kalau musim kini tak bisa diprediksi.

Tapi tarian hujan memang melenakan. Datangnya yang tiba-tiba, di bulan yang tak biasa, menjadi sesuatu yang istimewa.

Sembari meringkuk di atas kasur bergelung selimut, mata hampir terpejam. Tiba-tiba tarian hujan menarikku dengan mesin waktunya.

Semua keindahan, kemurahan dan kebaikanNya berkelebat di pelupuk mata. Mata pun batal terpejam.

Mengingat semua perjalanan hidup, yang tak selalu mulus dan menyenangkan. Ada saat badai itu datang dan membuat bahtera terombang-ambing. Tapi aku--beruntungnya--punya nahkoda andalan. Dia yang selalu membuatku sampai pada tujuan.

Orang-orang datang dan pergi dalam hidup. Tak semuanya membawa tawa dan ketulusan. Ada saat-saat ketika orang yang kamu anggap sahabat baikmu, ternyata mengkhianatimu. Atau orang-orang yang kamu kasihi, ternyata melukaimu. Orang yang kamu pikir bisa diandalkan, tapi mengecewakan. Ada saat ketika kebaikan dan jasamu dilupakan begitu saja.

Tapi ada satu pribadi yang selalu bisa diandalkan, yang tidak pernah mengecewakan. Janjinya seperti emas dan perak. Murni karena teruji dalam peleburan dengan bara api.

Dia membawa hidupku ke dalam suatu petualangan mendebarkan. Dan aku menikmatinya.

Dia menghadirkan orang-orang dalam perjalanan hidupku, yang layak disebut sahabat. Dia menggantikan kecewa dengan sukacita.

Badai itu tidak hilang, memang. Tapi kini aku punya dia, yang berjanji akan berada di sampingku, dan dia selalu menepatinya.

Dia berjanji, tidak akan membuatku jatuh tergeletak. Dia menepatinya.

Dia berjanji, akan menjadi kekuatan saat aku lemah. Dia juga membalut luka-luka di hati.

Sekalipun aku melalui lembah yang kelam dan berbahaya, aku tidak takut. Karena dia berdiri di depanku.

Aku tahu, dia menggenggam tanganku. Dia tidak pernah melepaskan tangannya, sampai aku menemukan daratan dengan sebingkai pelangi yang menjadi atapnya, dan langit biru menjadi kanvasnya.

Sampai aku melompat-lompat kegirangan, dan melempar tawa padanya, "Yah, aku bisa melaluinya!"

Lalu dia memelukku dengan hangat. Menepuk-nepuk bahuku. "Tuh kan, kamu bisa," bisiknya lembut.

Dia mampu memberi kesejukan dan kehangatan di tengah padang gersang.

Melebihi indahnya melodi hujan di bulan Juli...

***

"Kebaikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumahNya sepanjang masa"