Menu

Percik Kata Nieke

Jumat, 19 Februari 2010

Membunuh Takut



“Kok kamu nggak cerita punya AMP Joyce Meyer?” Itu pertanyaan Ps Evelyn waktu mengantarku ke kantor, jam setengah sembilan pagi. Malam sebelumnya aku lembur di Kuningan Place.

Kantorku letaknya cuma jarak satu rumah dari toko buku Immanuel di Jalan Proklamasi. Tapi kedekatan lokasi bukan alasanku membeli AMP Bible yang mencantumkan catatan Joyce Meyer, seorang penulis dan pengajar.

Awalnya ngomong apa ya? Oiya, karena kantorku dekat dengan toko buku Immanuel, Ps Evelyn bertanya apakah dia bisa nitip dibeliin buku. Lalu aku jawab, dengan senang hati, lagian aku punya kartu diskon dan member Immanuel.

Ps Evelyn terus nanya lagi, ha? Memang ada ya kartu member dan diskon?

Ada, jawabku.

Gimana itu caranya, tanya dia lagi.

Aku menjelaskan. Nggak sengaja dapatnya. Syaratnya harus belanja Rp 500 ribu. Nah, waktu itu, aku beli AMP Joyce Meyer.

Kapan kamu belinya?

Awal bulan ini, jawabku.

Memang harganya berapa AMP Joyce Meyer? Tanya Ps Evelyn.

Aku menelan ludah. Huks. Lalu menjawab, Rp 459 ribu.

Dug.

Sudah kuduga, Ps Evelyn juga terkejut mendengar harganya.
***


Telepon selulerku berkedip. Suara seorang perempuan menyanyi dengan bahasa Perancis menjadi nada dering tanda ada pesan pendek yang masuk.

“Selamat siang mbak. Ini dari Toko Buku Immanuel. Pesanan Amplified Bible Joyce Meyer-nya sudah ada. Sudah bisa diambil.......”

Waw, pesanan yang sudah lama aku tunggu! GILA. Aku sudah memesan sejak awal 2009. Bulan-bulan pertama tahun lalu semangat mencarinya. Tapi karena nggak kunjung ada, aku jadi lupa. Makanya, aku nyaris melompat saking girangnya. NYARIS. Sampai membaca kalimat terakhir pesan pendeknya.

“.....Harganya Rp 459 ribu.”

Dug.

Hiyaaaa. Mahalnyaaaa.....!

Ini di luar perkiraanku. Tadinya aku perkirakan harganya paling mahal Rp 300 ribu. Hiks. Harganya lebih mahal dari sewa kos-ku.

Aku lagi hidup mengandalkan tabunganku. Aku sudah bayar buah sulung. Jadi bulan ini aku hidup dengan iman, Tuhan yang akan menghidupiku. Jadi aku sudah bikin rencana keuangan yang begitu ketat. Pokoknya nggak ada belanja baju, buku, dan pernak-pernik. Kecuali yang penting-penting.

Sampai pesan pendek itu datang. Aduh... gimana ya? Lalu aku mengabaikan pesan pendek itu. Melanjutkan tidurku di hari Minggu. Biar aja, pikirku. Pasti juga bakal ada orang lain yang lebih kaya dari aku yang bakal beli buku itu. Rela-in aja deh! Aku bisa nyari AMP yang lebih murah lainnya.

Pesan aku hapus.

Dua hari kemudian. Aku sudah nyaris melupakan AMP itu.

“Selamat siang mbak Nieke. Ini dari Toko Buku Immanuel. Pesanan Amplified Bible Joyce Meyer-nya sudah ada. Sudah bisa diambil. Harganya Rp 459 ribu.Kapan mau diambil?”

Ouch. Pesan pendek itu datang lagi. Huh.

Kali ini aku agak lama memandangi layar mungil Nokia 6300-ku.

Bukannya kamu memang pengen? Tiba-tiba saja ada suara.

Ummm... iya sih.

Sayang lho kalau nggak diambil. Itu Joyce Meyer punya. Nyarinya susah.

Harganya mahal. Aku lagi berhemat. Kalau belanja juga harus pake hikmat kan?

Joyce Meyer itu penulis yang bagus ya. Dia itu handal banget kalau nulis soal emosi .

Terus. Apa hubungannya?

Kamu diberkati sama buku “How to Manage Your Emotions” kan yah?

Iya. Iya bangeet...! Buku itu banyak banget berbicara buat aku.

Pasti banyak hal menarik deh, di AMP-nya. Joyce Meyer buat catatan apa ya di situ? Hmm....

Nggg.... ngg...

“Sore. Terima kasih atas pemberitahuannya. Saya akan mengambil barangnya besok.” Aku pasti SUDAH GILA saat menulis pesan pendek itu.
***

Akhirnya buku itu berpindah tangan. Barangkali aku memang sudah tidak waras. Aku berkali-kali menatap AMP Bible itu. Mengingat harganya sangat menyakitkan. Oh!
Tanganku bergerak membuka-buka halamannya. Hmm, kertasnya tipis yah. Yah, tapi nggak jelek-jelek amat sih kertasnya. Rp 459 ribu. Duh.

Sampai jemariku tidak sengaja membuka sebuah halaman. Kata-kata yang diletakkan dalam sebuah kolom berbentuk kotak : Fear God, not people.

Aku terhenyak.

Kata-kata itu terasa menghunjam. Fear God, not people. 2 Samuel 23 : 3.

Mataku segera bergerak mencari ayat yang dimaksud lalu membacanya sampai habis.

Dalam sedetik, aku larut. Hanyut.

Anyone who is going to do the will of God must have more fear of God than of man.

Lalu ada yang melompat dari pelupuk mataku.

Yah, aku selalu takut. Aku takut. Aku takut bicara. Aku takut mengungkapkan ide-ideku. Aku sebenarnya takut. Aku takut orang salah paham padaku. Aku takut orang tersinggung atau salah mengartikan kata-kataku. Jadi, aku sering memutuskan diam. Bahkan aku memilih diam, meskipun aku benar. Itu karena aku takut.

Lalu suara itu muncul. “Silence is not always golden. Setiap ide dalam pikiranmu adalah benih. Jika kamu takut bicara dan tidak mengungkapkannya. Kamu sudah mengaborsi benih yang kutaruh dalam dirimu.”

Aku terhenyak.

Sama dengan aborsi?

Iya. Sama dengan aborsi. Aborsi. Membunuh.

Mataku berkabut. Airmataku jatuh satu-satu.

Bahkan aku takut membeli buku ini. Aku takut uangku nggak cukup. Aku takut...

My God, there is none like You. Whom shall I fear? If You are for me, what can man do to me?

Lalu hangat menyelimuti hatiku.

Aku masih ingat harga buku itu Rp 459 ribu. Tapi tidak terasa lagi menyakitkan. Aku jatuh cinta padanya. Tiap hari kubaca. Tiap hari menemukan hal baru. Terisak.
Menemukan kekuatan baru.

Ah, i really love Joyce Meyer’s notes! I love my new AMP Bible.
****

Perempuan yang Memelihara Naga di Perutnya


Perempuan itu mengabsen makanan dalam perutnya.
Rainbow rolls, delapan macam aneka sushi? Hadir.
Steak sushi? Hadir.
Ocha. Hadir.

Tak sampai dua jam, perutnya sudah lapar lagi. Ia membayangkan yoghurt dengan topping longan dan kiwi. Tiga jam kemudian, sekaleng susu coklat dan semangkuk bakso akhirnya masuk dalam perutnya.
Jangan salah, makannya banyak, tapi tubuhnya tak gemuk. Berat badannya 43 kilogram. Tak kunjung naik, meski ia penggemar susu dan yoghurt. Kata orang, bukan cacing yang berada di dalam perutnya. Tapi naga.
Ha, naga? Perempuan itu memelihara naga di dalam perutnya. Siapa dia?
Sebuah tangan teracung. Itu tangan saya.
Menunduk.
Aih, jadi malu.
Ehem.
Iya, itu saya.
Jika makanan itu dihidangkan menarik dan aromanya menggoda, saya sanggup menelan beberapa jenis makanan sekaligus. Waktu berkumpul dengan keluarga di acara Natal akhir tahun lalu, saya sanggup melahap : sup asparagus, sup merah, cap cay, sate, ayam, pudding, cup cakes. Saya mondar-mandir ke dapur hanya untuk menambah jatah sup asparagus dan sup merah. Saya sendiri heran dengan mekanisme tubuh saya. Ke mana makanan itu semua mengalir? Banyak asupan namun tidak membuat tubuh saya lantas membengkak. Makanya, teman bilang, saya punya naga di dalam perut yang menyantap semua itu.
Tapi, saya diuntungkan dengan keadaan ini. Saya tak perlu takut gemuk. Saya bisa makan apa saja. Saya tak perlu pusing mikir soal diet. Dan, saya jadi punya hobi baru : kuliner.
Ah, ini menyenangkan sekali!
Ah ya, ini foto saya waktu di Bali, beberapa waktu lalu. Saya mencoba menyantap menu bebek Bali. Hmmm... mantap! Ukuran bebeknya cukup besar. Seukuran wajah saya—oh my God!
Thanks untuk naga di dalam perut.
I love you.
Cup cup....
***

Kamis, 18 Februari 2010

Pembawa Pesan


Ow bintang!

Kerling matamu manja

Lebih ceria dari lampu temaram kota

Menghias sisa senja

Menemaniku yang masih terjaga

Menyusun kata-kata

Ow bintang!

Ingin kukecup keningmu

Bilang, terima kasihku pada penciptamu

Dan, oh, bisikkan padaNya, "Engkau sudah mencuri hatiku."




Kuningan Place, 17 Februari 2010

Senin, 01 Februari 2010

Sebuah Mahakarya




Sebuah ladang gandum kuning keemasan langsung tersaji di benak saya. Lamat-lamat, bibir saya membacakan sepotong prosa Wendoko, dari bukunya yang bertajuk “Partitur, Sketsa, Potret dan Prosa.”

Ladang gandum mengombak
-cokelat dan kuning emas.
Langit adalah goresan yang patah-patah
di muka kanvas
-kuning-pudar dan bergaris hitam.
Ada matahari yang bulat – kuning-pucat.
......


Dua orang yang sedang duduk bersama saya—sore itu—terkesima. “Waw, itu judulnya apa?” tanya Ps Evelyn. Dialah yang baru saja memberikan buku itu kepada saya, masih terbungkus sampul dan kantong plastik sebuah toko buku ternama. Saya yang tak sabar segera merobek plastik pembungkus dan acak membaca halaman demi halaman. Lalu menemukan sepotong prosa itu.

“Van Gogh : Wheat Field Behind Saint Paul Hospital With A Reaper,” jawab saya sambil tersenyum. Terperangkap dalam pesona kata-kata sang penyair.

“Waw,” Viona mendesis. Pandangannya menerawang. Saya yakin, ia pun membayangkan imaji ladang gandum yang sama.

“Van Gogh, bukankah ia seorang pelukis,” ujar Ps Evelyn.

“Ya, ya, dia seorang pelukis,” jawab saya.

Mungkin sang penyair menatap lukisan pelukis Belanda itu. Merekam dalam ingatan. Lalu menumpahkannya kembali ke dalam ramuan kata-kata.

“ Vincent Van Gogh bukan?” ucap Ps Evelyn.

Sekali lagi saya mengangguk. Benar, Van Gogh yang itu. Pelukis yang malang. Seluruh lukisannya terkenal, menjadi mahakarya, justru ketika ia mati. Ironinya, semasa pemuda ini hidup, tak seorang pun menghargai karyanya. Van Gogh memberontak dari aliran impresionisme. Ia memilih melukis dengan ekspresif. Orang-orang menganggapnya aneh, memandang sebelah mata. Laki-laki ini depresi. Mengakhiri hidupnya. Setelah Van Gogh meninggal, justru orang menoleh pada karyanya. Lalu meledak menjadi mahakarya.

“Ya ampun, jadi ia terkenal setelah ia mati? Setelah ia bunuh diri?” Viona melongo.

Lagi-lagi saya mengangguk. Ironis ya.

“Masa kita harus bunuh diri dulu baru kemudian bisa terkenal?” ucapnya kemudian. Masih terheran-heran.

Kalimat Viona berdengung di telinga. Seperti lebah. Masa kita harus bunuh diri dulu baru kemudian bisa terkenal? Lalu siapa yang akan menikmati hasilnya? Orang lain?

Benar kata pepatah, banyak jalan menuju Roma. Maksud saya, sepertinya memang benar-benar banyak cara untuk menjadi terkenal. Dari yang ekstrem negatif sampai ekstrem positif. Tapi kalau benar-benar mencermati berita-berita di koran dan majalah, acara gosip dan hiburan di televisi, lebih banyak negatifnya.

Ada bintang film yang terkenal setelah berpose nyaris telanjang di sebuah film atau majalah.
Si penyanyi itu terkenal setelah menjadi simpanan pengusaha.
Pejabat itu naik pangkat setelah menendang rivalnya, membuat jebakan intrik dan politik.
Konglomerat itu berhasil mencaplok sejumlah perusahaan kecil setelah sebelumnay mengintimidasi mereka.
Rocker itu terkenal dengan aksi panggungnya setelah mencandu narkoba.
Perempuan itu populer karena tak segan memamerkan bagian-bagian tubuhnya yang sensitif. Menjadikannya komoditas bergilir.

Daftar ini bisa panjang kalau diteruskan. Yayaya, mereka pun melakukan bunuh diri sebenarnya. Bunuh diri yang bukan fisik. Bukan raga yang mati. Tapi jiwa, harga diri, nilai, moral, prinsip. Itulah yang mereka bunuh dalam diri mereka. Dikorbankan sebagai tumbal supaya diri mereka populer, diterima banyak orang, kaya raya, punya tahta. Sebenarnya kita sering melakukannya juga.

Tidak percaya?

Ketika kita melontarkan kata-kata dan sikap yang melukai hati orang lain. Lalu kita enggan meminta maaf karena gengsi.
Ketika kita bertengkar dengan orangtua.
Ketika kita membohongi seseorang.
Ketika kita mengkhianati kepercayaan seseorang yang dekat dengan kita.
Ketika kita membalas dendam.
Memaki orang.
Kesal ketika dituduh melakukan sesuatu oleh bos, lalu membicarakannya di belakang.
Enggan memaafkan.


Masih panjang juga daftarnya kalau diteruskan. Berapa kali kita membunuh suara nurani saat itu terjadi? Ketika kita mengutamakan ego? Uh-oh. Sepertinya cuma manusia setengah dewa yang bisa menghindarinya, yang sudah tidak menghirup napas di bumi. Yang terbang di awan-awan.

Um... tapi seseorang bilang pada saya. Tak ada sesuatu yang mustahil. Apalagi setelah saya mengenal Dia. Ngomong-ngomong, sudah kenal Dia belum? Seorang laki-laki yang lahir di Betlehem, namanya Yesus. Setelah mengenalNya, kerinduanNya adalah kita menjadi serupa dengan Dia. Dia memberi kita kasih karunia, yang menyanggupkan kita serupa dengan Dia.

Tunggu, tunggu. Apa hubungannya terkenal dan menjadi serupa dengan Dia?


Sebagai orang Kristen, kita adalah garam dan terang kan? Terang, artinya kita bersinar di antara sekelompok orang. Ya, kita bisa terkenal, dikenal, tanpa kita harus “membunuh” nurani. Lalu menjadi zombie. Bukankah Yesus memberi jalannya?

Kamu telah mati bagi dosa, tetapi kamu hidup bagi Allah dalam Kristus Yesus. Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana, supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya (Roma 6 : 11-12).


Yang seharusnya kita bunuh adalah “ego”. Um, ya-ya-ya. Ini berat. EGO. Penguasaan diri. Hufff.... Saya ingin menarik napas.

Ketika disalahkan atas sesuatu yang sebenarnya bukan salah kita, tapi mesti memaafkan.
Mesti bersabar pada orang yang berkali-kali melakukan kesalahan. (Padahal ingin marah-marah!)

Ehm, yang ini daftarnya juga bisa panjang. Awh! Ini tak mudah, memang. Tapi hanya orang yang sanggup membunuh “ego”nya, yang hidupnya bisa berubah. Ketika kita mematikan ego satu demi satu, cahaya Kristus mulai bersinar dalam diri kita. Karakter kita yang berubah. Orang memandang kita berbeda. Saat itulah, Tuhan memahat sebuah mahakarya dalam diri kita. Sebuah lukisan kehidupan, yang terdiri atas kepingan-kepingan yang disatukan. Dan di pojok kanan bawah kanvas, ada guratan namanya.

“From Jesus, with love.”
Hmm... rasanya seperti dipeluk Tuhan.


***

Jumat, 29 Januari 2010

Untung, Tuhan Tidak Kapitalis




Begini. Terus terang, dahi saya berkerut kala saya menonton film layar lebar 2012. Bukan karena spesial efek yang mengagumkan. Bukan karena adegan-adegan tak masuk akalnya atau cerita yang seru. Juga bukan karena saya merasa takut kiamat.

Saya yakin sebagian besar orang sudah menonton film besutan Roland Emmerich itu. Ya, itu tuh, tentang ramalan suku Maya bahwa sistem kalender berakhir pada Desember 2012. Lantas apa yang terjadi setelah itu? Spekulasi kiamat pun muncul. Mencari selamat, mereka membuat sebuah bahtera raksasa seperti zaman Nabi Nuh. Nah, ini yang membuat dahi saya berkerut.

Mau selamat dari kiamat? Anda bisa membeli tempat di bahtera ala Nabi Nuh.

Boleh saya ulangi kalimat ini?

Mau selamat dari kiamat? Anda bisa MEMBELI TEMPAT di bahtera ala Nabi Nuh.

Keselamatan menjadi komoditas perdagangan menjelang kiamat. Saya tak heran, dalam film itu, orang-orang yang bisa membeli tempat hanya orang-orang yang berduit. Konglomerat. Pejabat. Mungkin uang itu dibeli dari uang hasil manipulasi dan korupsi, atau judi. Entah. Yang jelas mereka sangat berduit.

Lalu ada adegan, beberapa otoritas memilih siapa rakyat jelata yang akan diselamatkan. Otoritas ini memeriksa setiap orang. Mereka menetapkan syarat orang untuk bisa selamat : sehat jasmani dan rohani, intelektual, punya kemampuan tertentu.

Dasar film Hollywood. Dasar kapitalis. Saya pikir, begitulah jika manusia membuat film keselamatan dengan versi manusia. Keselamatan menjadi sesuatu yang bisa diperjualbelikan. Keselamatan tergantung kamu punya uang atau tidak. Ah, tapi bukankah begitu pertemanan di bumi selama ini? Orang mengukur orang lain dengan uang, jabatan, kepentingan, kepandaian, kecantikan.

Yang jelas, dalam 2012, saya melihat : begitulah yang terjadi jika manusia yang menentukan ukuran keselamatan. Saya yakin dunia nyata tak jauh berbeda. Lihat saja realita. Tengok surat kabar, televisi, dunia elektronik maya.

Lalu saya bersyukur, bukan manusia yang menentukan keselamatan.

Tuhan menggunakan ukuran berbeda, yang kita sendiri tak akan pernah sanggup memahami pola pikirNya. Ukurannya bukan uang, bukan materi, bukan kepandaian, bukan kecantikan. Malah, orang-orang yang hancur hidupnya, yang remuk redam hatinya, yang mengelana jauh dariNya.

Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu; jangan ada orang yang memegahkan diri (Efesus 2:8-9).

Jika Tuhan adalah seorang gembala domba, Dia akan meninggalkan 99 ekor untuk mencari satu yang hilang. Jika Tuhan adalah seorang pedagang, Dia tak akan rela jika satu sen pun menghilang. Dia akan mencari pelita, berjongkok-jongkok dan mencarinya sampai ketemu.

Begitu besar kasih Tuhan pada manusia, hingga Dia mengirim putraNya yang tunggal, untuk mati di kayu salib. Seorang putra mahkota kerajaan surga, menanggalkan jubah kerajaannya dan menjadi rakyat jelata, sama seperti kita. Seorang anak laki-laki yang lahir, dengan tujuan mati di kayu salib. Darah yang tercurah di kayu salib itulah yang mengubah kehidupan kita.

Tuhan tak pernah meminta kita MEMBELI KESELAMATAN. Tuhanlah yang MEMBAYAR KESELAMATAN buat kita. Tuhan telah MENYEDIAKAN TEMPAT untuk kita. Melupakan kesalahan-kesalahan di kehidupan lama. Memberi kita kehidupan yang baru.

Dia menunggu di lorong depan kamarmu ketika kamu menutup pintu hatimu. Dia duduk di sebelahmu, ketika kamu menangis. Dia melihat hatimu yang hancur, jemariNya ingin meraihmu untuk menyatukan kepingan hati itu. Dia melihatmu tertawa dan bercanda dengan teman-temanmu, ingin ikut bergabung denganmu. Ketika kamu tertekan dan tak ada yang bisa diajak curhat, Dia di sampingmu. Menyendengkan telingaNya untuk mendengar tiap perkataanmu. Ingin memelukmu.

Dia rindu untuk bercakap-cakap denganMu. “Maukah kamu membuka pintu hatimu?” bisikNya lembut. Dia mau kamu bertemu secara pribadi denganNya.

Setelah kita mengalami pertemuan pribadi denganNya pun, ketika kita melakukan kesalahan, kasih karunianya selalu tersedia. Sebuah kasih yang tak terukur, yang membuat kita sanggup mengasihiNya. Memberi kekuatan untuk mengarungi perjalanan bersamaNya.

Ah, untung Tuhan tidak kapitalis!

***

Jumat, 22 Januari 2010

Bimbang


[cerpen ini pernah dimuat di Jawa Pos, Senin, 26 Mei 2003. Lalu sedikit direvisi pada Maret 2009]

"I hope you will start to learn English now."
Jogja, 15 Maret 2003

KATYA mengamati tulisan pada bagian dalam di buku tentang posmodernisme itu. Katya menulisnya tempo hari. Belum ada kesempatan untuk memberikannya pada Stefan.

Cantik


[Cerita pendek ini pernah dimuat di Jawa Pos, 18 Juni 2002. Pemenang utama lomba menulis cerpen Deteksi Grand Prix yang diadakan Jawa Pos]

-- "Aku nggak sanggup menjadi cantik seperti yang kamu inginkan" --